Liputan6.com, Jakarta - Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Fransiscus Welirang, menuturkan rupiah melemah turut menyeret harga jual tepung terigu jadi lebih mahal 10 persen pada paruh kedua tahun ini.
Meski begitu, pria yang akrab disapa Franky ini mengatakan, konsumsi masyarakat terhadap tepung terigu pada semester I 2018 tetap tinggi, bahkan meningkat.
"Permintaan masyarakat terhadap terigu di semester I ada kenaikan. Akibatnya, konsumsi produk makanan yang ada tepung terigunya seperti mie instan, roti, martabak, kerupuk, bakso, sosis, masih besar," ungkap dia di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Baca Juga
Advertisement
Untuk semester II, dia menyatakan belum bisa memberikan gambaran akan konsumsi terigu, lantaran secara harga diperkirakan melonjak.
"Saya enggak tahu, karena harga tepung terigu naik minimal 10 persen karena pelemahan rupiah sudah mencapai 10 persen," ucap dia.
Mengutip catatan Bloomberg, nilai tukar rupiah sejak awal 2018 ini terhitung telah terdepresiasi hampir 10 persen, atau sekitar 9,67 persen.
Dia melanjutkan, harga gandum sebagai bahan baku pembuatan tepung terigu di pasar internasional sudah naik 20 persen sejak Maret-April 2018.
"Gandum sendiri harganya sudah naik 20 persen sejak Maret-April. Ini karena ada banjir di timur dan kekeringan di selatan Australia, jadi panennya turun. Selain itu di Ukraina gandumnya ada penyakit. Harga gandum jadinya naik, lebih mahal," ujar dia.
Namun, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) ini pun memperkirakan, konsumsi tepung terigu akan meningkat sebanyak 7 persen pada tahun politik 2019.
"Setiap pemilu orang banyak makan. Saya enggak tahu pastinya naik berapa persen, mungkin bisa sampai 7 persen. Kalau daya beli bagus mungkin naik, tapi masih belum pasti juga. Harga terigu naik," tutur dia.
Isu Perang Dagang Kembali Tekan Rupiah
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Isu pembelian jet tempur Rusia oleh China menjadi salah satu isu yang mendorong penguatan dolar AS.
Mengutip Bloomberg, Senin 24 September 2018, rupiah dibuka di angka 14.846 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.816 per dolar AS.
Sejak lagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.846 per dolar AS hingga 14.879 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,71 persen.
Sedangkan berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.865 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan pada Jumat lalu yang ada di angka 14.824 per dolar AS.
Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, kabar mengenai China membatalkan pembicaraan tarif dan perdagangan tingkat menengah dengan AS membuat aset mata uang berisiko seperti rupiahkembali mengalami tekanan.
"Investor kembali fokus pada perang dagang, China telah membatalkan kunjungannya ke AS yang dijadwalkan pekan ini," katanya seperti dikutip dari Antara.
Ia mengemukakan China menambahkan USD 60 miliar produk AS ke daftar tarif impor. Itu merupakan balasan China terhadap bea masuk AS atas barang-barang Tiongkok senilai USD 200 miliar.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menambahkan hubungan politik AS-China juga memburuk menyusul pembelian jet tempur serta rudal oleh China dari Rusia.
"Dengan isu baru ini membuat hubungan dagang AS-China yang sebelumnya mengalami ketegangan karena penetapan tarif impor barang semakin memburuk," katanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement