Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tak ada upaya dari penegak hukum di Indonesia untuk memiskinkan para pelaku korupsi. Paraktek korupsi di Indonesia dinilai masih memiliki insentif. Artinya para koruptor masih tetap hidup enak di Indonesia, malah mendapat untung dari perilakunya.
Salah satu keuntungannya adalah masih bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Demikian disampaikan Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, dalam rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018).
Advertisement
Menurut Adnan, berdasarkan hasil kajian ICW, nilai pengembalian keuangan negara dari hasil korupsi lebih kecil dibandingkan nilai uang yang dikorupsi.
"Level pengembalian kerugian negara hanya 4 persen atau dalam catatan kami dari Rp 29,41 triliun, pidana uang pengganti hanya Rp 1 triliun lebih atau sekitar 5 persen," jelasnya.
Karena itu, kata dia, upaya membuat orang jadi miskin karena korupsi tidak terjadi. Sebab, korupsi tetap miliki insentif di Indonesia.
"Hidupnya tetap lebih enak. Misalnya saya korupsi Rp 50 miliar, dan saya hanya keluar Rp 10 miliar sampai saya keluar (penjara). Saya untung Rp 40 miliar dan tetap bisa jadi caleg dan PNS," papar Adnan.
Kondisi ini, kata Adnan, yang menjadi kendala dalam membangun pemerintahan yang kredibel dan anti korupsi. Seharusnya pemerintah maupun penegak hukum memikirkan bagaimana membangun disinsentif bagi koruptor, sehingga perilaku korupsi bisa dicegah.
ASN Korupsi Masih Terima Gaji
Dalam kesempatan itu, Adnan juga memaparkan ada 2.000 lebih Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terlibat dalam kasus korupsi. Namun memprihatinkan, mereka masih bisa menerima gaji dan menikmati uang negara.
"Ini menunjukkan sebuah sistem tak menciptakan disinsentif, sehingga orang berpikir perilaku korupsi itu enak," ujarnya.
Adnan juga menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selalu stagnan ketika menyangkut dua institusi, yaitu pengadilan dan kepolisian. Kejaksaan tak masuk dalam catatan karena dua lembaga tersebut merupakan dua lembaga yang paling banyak berinteraksi langsung dengan masyarakat.
"Kalau kita lihat survei kenapa upaya memerangi korupsi di Indonesia jalan di tempat, karena pendekatan law enforcement tak melahirkan efek jera. Salah satunya karena penegak hukumnya bermasalah," ucapnya.
Reporter: Hari Ariyanti
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement