Harga Minyak Naik Tak Berdampak terhadap Biaya Produksi Listrik

Kementerian ESDM menyatakan, kenaikan harga minyak tidak memberi banyak pengaruh pada ‎pembentukan tarif listrik.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 25 Sep 2018, 10:30 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) menyatakan, kenaikan harga minyak tidak memberi banyak pengaruh pada ‎pembentukan tarif listrik.

Harga minyak jenis Brent sempat sentuh level tertinggi ke level USD 80 per barel dalam empat tahun ini. Sebelumnya harga minyak sempat sentuh posisi USD 98 pada 2014 hingga akhirnya sentuh level terendah di USD 45 per barel pada 2016. Hal itu seiring banjirnya pasokan global.

Direktur Jenderal Ketenaga Listrikan‎ Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan sektor kelistrikan terus mengurangi porsi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk pembangkit listrik, sehingga kenaikan harga minyak hanya memberi sedikit dampak pada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik.

"Minyak itu hanya 0,4 persen (dalam porsi pembangkitan listrik)," kata Andy, di Jakarta, Selasa (25/9/2019).

Andy melanjutkan, Bahan Bakar Gas (BBG) untuk sektor kelistrikan juga tidak terpengaruh kenaikan harga minyak. Hal itu meski harga gas untuk sektor kelistrik dikaitkan dengan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yaitu 14,5 persen dari ICP.

Andy menuturkan, porsi penggunaan BBG untuk pembangkit listrik saat ini masih kecil, sehingga kenaikan harga minyak tidak berpengaruh pada kenaikan BPP listrik. ‎"Kalau gas konsumsinya masih kecil juga‎," ujar dia.

Meski begitu, Andy menginginkan ada harga gas khusus ‎untuk gas, yang dipatok seperti harga batu bara. Dia menyebutkan harga gas yang pantas untuk kelistrikan sebesar USD 7 per mmbtu.

"Makanya saya sekarang berharap minta ke teman Migas menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) ke teman migas keekonomian 7 dolar per mmbtu," ujar dia.

 

 


Harga Minyak Menguat ke Posisi Tertinggi

Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Sebelumnya, harga minyak menguat terutama harga minyak Brent yang melonjak lebih dari tiga persen ke posisi tertinggi dalam empat tahun.

Kenaikan harga minyak itu didorong usai Arab Saudi dan Rusia mengesampingkan setiap peningkatan langsung dalam produksi meski Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meminta untuk menaikkan pasokan global.

The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) atau Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan negara non-OPEC termasuk Rusia berkumpul di Aljazair pada Minggu. Dari hasil pertemuan tidak ada rekomendasi resmi untuk meningkatkan pasokan tambahan yang imbangi penurunan pasokan dari Iran.

"Pasar masih didorong kekhawatiran pasokan Iran dan Venezuela. Kegagalan produsen mengatasi hal itu menciptakan peluang membeli," ujar Direktur Stamford, Gene McGillian, seperti dikutip dari laman Reuters, Selasa 25 September 2018.

Harga minyak Brent naik USD 2,4 atau 3,1 persen ke posisi USD 81,20 per barel usai sentuh level tertinggi intraday di posisi USD 81,39, yang merupakan level tertinggi sejak November 2014. Kemudian harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat USD 1,3  atau 1,8 persen ke posisi USD 72,08.

Pemimpin OPEC Arab Saudi dan produsen minyak terbesar lainnya di luar OPEC secara efektif menolak permintaan Trump untuk menenangkan pasar.

"Saya tidak pengaruhi harga," ujar Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih.

Pada pekan lalu, Trump menuturkan OPEC harus menurunkan harga minyak sekarang. Akan tetapi, Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh tidak menanggapi permintaan Trump secara positif.

"Sekarang semakin jelas, dalam hadapi produsen enggan untuk meningkatkan produksi. Pasar akan dihadapkan dengan kesenjangan pasokan dalam tiga hingga enam bulan ke depan yang perlu diselesaikan melalui harga minyak lebih tinggi," ujar Analis BNP Paribas, Harry Tchillinguirian.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya