Liputan6.com, Jakarta Pipiltin Cocoa, salah satu produsen couvertour cokelat Indonesia, tidak sembarangan mencantumkan harga di setiap hasil produksinya. Bukan mau sok-sok premium, tapi Tissa Aunilla meyakini bahwa ada perhitungan yang matang agar kualitas barang dagangan tetap terjaga, serta para petani kokoa yang menjadi rekan Pipiltin Cocoa selama ini meraih untung yang sepadan.
Saat mulai merintis usaha khusus produksi cokelat asli Indonesia beberapa tahun silam, Tissa tidak menutup kuping dari omongan orang-orang yang kerap mempertanyakan mengapa harga untuk sebungkus atau seporsi cokelat begitu mahal. Tidak mungkin dia harus menjelaskan perihal cost of production yang memang cukup tinggi ke orang-orang tersebut.
Advertisement
Baca juga: Jungkir Balik Tissa Aunilla Bangun Pabrik Cokelat Premium Asli Indonesia
"Mahal itu relatif," kata Tissa. "Kenapa di harga pasar Indonesia begitu mahal, karena (Pipiltin Cocoa) harus mengambil biji yang difermentasi selama lima hari," kata Tissa menambahkan. Karena itu dia harus membayar sebesar 40 sampai 50 persen di atas harga pasar ke petani.
Pipiltin Cocoa menjalin kerja sama dengan petani kokoa yang menerapkan pertanian organik daeri empat daerah di Indonesia, yaitu Pidie Jaya (Aceh), Tabanan (Bali), Jawa Timur, dan Flores.
Dan, alasan memilih biji cokelat yang harus melewati proses fermentasi, agar rasa yang berbeda-beda dari setiap jenis biji kokoa tersebut bisa keluar. "Jadi, difermentasi itu didiamkan di dalam box selama lima hari. Memang ada effort lebih yang harus dilakukan sama petani dari masing-masing daerah ini," kata Tissa.
Tissa dan tim pun harus memastikan bahwa biji yang mereka dapat bukan biji yang sehabis dipetik langsung dikirim ke mereka. Pipiltin Cocoa punya kualifikasi sendiri. Selain harus melewati proses fermentasi, proses lain yang harus dilalui adalah beans count.
"Jadi, dalam 100 gram cokelat, kalau ditimbang harus ada 95 biji paling banyak, tidak boleh lebih," ujar wanita yang melepas status sebagai corporate lawyer demi usaha ini.
Berat itu penting, kata Tissa. Itu berarti biji-biji yang akan diproduksi oleh Pipiltin Cocoa mengandung gula (fructose). "Kenapa sih itu penting? Karena berarti lagi matang pohon. Kalau matang pohon pasti enak," kata Tissa.
Menurut Tissa, kalau hal itu tidak dilakukan, orang-orang jadi sulit membedakan rasa dari cokelat Bali, Aceh, atau Flores,"Enggak ada bedanya kalau enggak fully fermented dan biji count-nya enggak bagus."
Tantangan Saat Membangun Pipiltin Cocoa
Itu segelintir tantangan yang Tissa dan rekan bisnisnya hadapi dalam membangun usaha Pipiltin Cocoa, sampai bisa seterkenal sekarang. Kualitas yang terjaga baik, tidak heran jika para atlet Asian Games 2018 menjadikan cokelat hitam (dark chocolate) dari pabrik Pipiltin Cocoa sebagai buah tangan.
"Tantangannya di situ. Kita harus make sure bijinya bagus, tapi harganya juga harus masuk," kata Tissa.
Tissa berani menjamin bahwa seluruh produknya adalah 'cokelat beneran', tidak sekadar 'label'. Sayangnya, di Indonesia belum ada Food and Drug Administration (FDA) seperti di Amerika, yang akan memberi label cokelat jika terdapat cocoa butter sebesar 20 persen.
"Jadi, enggak akan ada yang sekonyong-konyongnya menulis cokelat di bungkusnya, tapi sebenarnya candy," ujarnya.
Advertisement