Liputan6.com, Washington DC - Investigasi pemerintah AS telah menemukan bahwa militer Myanmar terbukti mengobarkan kampanye pembunuhan massal yang terencana dan terkoordinasi dengan baik, pemerkosaan berkelompok, dan kekejaman lainnya terhadap minoritas muslim Rohingya.
Laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, yang dirilis pada Senin, 24 September 2018, dapat digunakan untuk membenarkan lebih lanjut sanksi AS atau tindakan hukuman lainnya terhadap pemerintah Myanmar, kata pejabat AS kepada Reuters, seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (25/9/2018).
Namun, laporan itu tak mendeskripsikannya sebagai genosida, berbeda dengan keterangan dari tim pencari fakta PBB yang melabelinya demikian.
Baca Juga
Advertisement
Laporan itu, yang pertama kali dilaporkan oleh Reuters, dihasilkan dari lebih dari seribu wawancara terhadap pria dan wanita Rohingya di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh, tempat hampir 700.000 warga Rohingya melarikan diri setelah kampanye militer tahun lalu di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Sekitar 80 persen pengungsi yang disurvei mengatakan mereka menyaksikan pembunuhan, paling sering oleh militer atau polisi, menurut laporan itu.
"Survei ini mengungkapkan bahwa kekerasan baru-baru ini di Rakhine Utara sangat ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir penduduk Rohingya," menurut laporan setebal 20 halaman itu.
"Ruang lingkup dan skala operasi militer menunjukkan bahwa mereka terencana dan terkoordinasi dengan baik."
Korban selamat menggambarkan secara mendetail apa yang telah mereka saksikan, termasuk tentara yang membunuh bayi dan anak-anak kecil, penembakan terhadap orang yang tidak bersenjata, dan korban yang dikubur hidup-hidup atau dilemparkan ke lubang kuburan massal.
Mereka juga menceritakan tentang serangan seksual yang meluas oleh militer Rohingya militer Myanmar, yang sering dilakukan di depan umum.
Seorang saksi menggambarkan empat gadis Rohingya yang diculik, diikat dengan tali dan diperkosa selama tiga hari. Mereka ditinggalkan "setengah mati," katanya, menurut laporan itu.
Kelompok hak asasi manusia dan aktivis Rohingya menyebutkan, korban tewas dalam operasi militer Myanmar itu mencapai ribuan jiwa, yang diikuti serangan oleh gerilyawan Rohingya terhadap pasukan keamanan di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017.
Simak video pilihan berikut:
Jadi Tambahan Bukti untuk Mendakwa Militer Myanmar di ICC?
Hasil investigasi AS dirilis hampir satu bulan setelah penyelidik PBB mengeluarkan laporan mereka sendiri yang menuduh militer Myanmar bertindak dengan "niat genosida" dan menyerukan panglima dan lima jenderal dituntut berdasarkan hukum internasional di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Militer di Myanmar telah membantah tuduhan pembersihan etnis dan mengatakan tindakannya adalah bagian dari perang melawan terorisme.
Pejabat senior Kementerian Luar Negeri AS mengatakan tujuan dari penyelidikan itu bukan untuk menentukan genosida tetapi untuk "mendokumentasikan fakta" tentang kekejaman untuk memandu kebijakan AS yang ditujukan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan. Namun, laporan itu tidak mengusulkan langkah baru.
Salah satu pejabat, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan, "akan terserah kepada Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo apakah akan membuat semacam keputusan "hukum" di masa depan dan kemungkinannya tetap ada.
Sebuah pernyataan genosida oleh pemerintah AS bisa memiliki implikasi hukum yang akan mendorong Washington untuk melakukan penghukuman yang lebih kuat terhadap Myanmar. Oleh karenanya, ini pula yang telah membuat beberapa orang di pemerintahan Trump mewaspadai mengeluarkan penilaian semacam itu.
Mahkamah Pidana Internasional pekan lalu mengatakan telah memulai pemeriksaan apakah dugaan pengusiran paksa terhadap Rohingya dapat menjadi kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ditanya apakah temuan-temuan baru AS dapat digunakan untuk mendukung penuntutan internasional seperti itu, pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan, "Belum ada keputusan yang akan diambil untuk mencari pertanggungjawaban hukum atas krisis Rohingya."
Pemerintahan Trump, yang telah dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia dan beberapa anggota parlemen AS karena mengeluarkan tanggapan yang terlampau hati-hati terhadap Myanmar, sekarang dapat menghadapi tekanan tambahan untuk mengambil sikap yang lebih keras.
Investigasi Kementerian Luar Negeri AS dimodelkan pada pemeriksaan forensik terhadap kekejaman di wilayah Darfur di Sudan pada 2004, yang menyebabkan pernyataan genosida dari AS dan berujung pada pemberian sanksi terhadap pemerintah Sudan.
Namun, tindakan tegas AS terhadap pemerintah Myanmar dibayangi oleh kekhawatiran tentang memperumit hubungan antara pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, dan militer kuat yang mungkin mendorong Myanmar lebih dekat ke China.
Pemerintah AS pada 17 Agustus 2018 memberlakukan sanksi terhadap empat komandan militer dan polisi dan dua unit tentara, tetapi panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, terhindar. Sanksi lebih lanjut telah dipertimbangkan, para pejabat mengatakan sebelumnya.
Orang Rohingya, yang menganggap diri mereka sebagai penduduk asli negara bagian Rakhine, secara luas dianggap sebagai penghalang oleh mayoritas penduduk Myanmar dan ditolak kewarganegaraannya oleh pemerintahan negara itu.
Advertisement