Liputan6.com, Jakarta - Ilmuwan di Hannover, Jerman, merupakan yang pertama kali menganalisa data direkam oleh sebuah detektor di Amerika Serikat, yakni gelombang gravitasi.
Karsten Danzmann dan timnya, mengembangkan dan mengujicoba teknik pengukuran gelombang ajaib tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Padahal, detektor LIGO yang digunakan buat mengukur gelombang pertama terlihat sederhana. Lalu, mengapa selama ini selalu sulit mendeteksi gelombang gravitasi?
Prof. Karsten Danzmann, Direktur MPI untuk Fisika Gravitasi, Leibniz Universität Hannover menjelaskan kalau ide dasarnya sederhana.
"Bagaimana kita bisa membuktikan gelombang gravitasi? Kita harus mengukur ruang yang mengerut dan memuai. Dan bagaimana mengukur ruang yang mengerut? yaitu dengan mengukur panjangnya," kata Danzmann seperti dikutip DW, Kamis (27/9/2018).
Hanya saja, lanjut dia, manusia harus mengukur panjang dengan sangat akurat. Karena gayanya terlalu kecil.
"Dan teknologi pengukuran menggunakan sinar laser ini baru saja kita miliki sejak beberapa tahun terakhir," imbuhnya.
Jantung detektor disimpan di kontainer ini. Instalasi tersebut memancarkan sinar laser melalui dua pipa panjang di bawah tanah.
Pancarannya dipantulkan, lalu ditabrakkan satu sama lain. Seharusnya kedua gelombang cahaya saling mengeliminasi. Tapi jika cahaya berpendar, penyebabnya kemungkinan adalah gelombang gravitasi.
Mendengar Gelombang Gravitasi
Danzmann sempat melakukan 'kontak' dengan sinyal pertama gelombang gravitasi. Meski terlihat biasa, buat Danzmann sinyal ini adalah segalanya.
Menurutnya, gelombang ini indah, seperti yang digambarkan Albert Einstein. Gelombang gravitasi juga bisa didengar.
Terpaut jarak lebih dari satu miliar tahun cahaya dari Bumi, ada dua lubang hitam yang saling berpusar dengan kecepatan luar biasa.
Sekitar 200.000 kilometer per detik. Pada saat melebur, keduanya melepaskan momentum energi yang jumlahnya 50 kali lipat lebih besar dari seluruh alam semesta.
"Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa peristiwa kosmik paling dahsyat yang pernah dideteksi manusia ini gelap total. Ada 20 aktivitas buat mendeteksi sisa tabrakan dengan harapan bisa menemukan sinyalnya di sepanjang rentang spektrum elektromagnetik, dengan gelombang radio, radiasi rontgen, atau gelombang pendek. Tapi tidak ada jejak," ujar Danzmann menerangkan.
Tidak ada teleskop yang bisa merekam peristiwa meleburnya dua lubang hitam.
Gelombang gravitasi diyakini akan membuka jendela baru ke alam semesta. Lebih dari 99 persen jagad raya tidak kasatmata.
Oleh sebab itu, ilmuwan mengembangkan detektor yang lebih peka untuk bisa mendengar lebih jauh ke dalam kegelapan. Mereka bahkan akan merencanakan misi luar angkasa khusus untuk hal ini.
Advertisement
Trio Satelit Laser
Misi antariksa tersebut berupa tiga satelit yang saling memancarkan sinar laser dalam jarak lima juta kilometer.
Ilmuwan akan mengawasi jarak antara satelit dengan akurat untuk mendeteksi gelombang gravitasi. Dengan itu, kata Danzamnn, ilmuwan bisa mendengar lubang hitam di seluruh semesta.
Dan bahkan, mungkin dapat menangkap gelombang gravitasi dari dentuman besar yang membentuk alam semesta. Namun, kenapa ilmuwan ingin mengungkap rahasia gelombang gravitasi?
"Saya tidak tahu, manusia sepertinya dilahirkan dengan keinginan besar untuk mengetahui segalanya. Seperti pengetahuan tentang garis keturunan. Itu juga tidak berguna. Tapi tetap ada banyak orang yang ingin mengetahui siapa nenek moyangnya. Jadi seperti mencari garis keturunan kosmik untuk mengungkap rahasia dentuman besar," tandasnya.
Sampai para peneliti alam semesta bisa melacak rahasia dentuman besar dengan lebih rinci, mereka harus menempuh jalan panjang terlebih dahulu.
Karena, baru pada 2028 nanti detektor luar angkasa yang mereka kembangkan bisa sepenuhnya difungsikan.
Reporter: DW
Sumber: DW.com
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: