Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan mantan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Arie Sudewo sebagai saksi dalam sidang lanjutan dugaan penerimaan suap oleh anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi.
Pada keterangannya, dia menegaskan tidak ada bantuan ataupun tawaran dari Fayakhun untuk memuluskan anggaran proyek pengadaan alat satelit monitoring di Bakamla.
Advertisement
Hakim awalnya menanyakan perkenalan Arie dengan Fayakhun. Arie mengaku kenal politikus Golkar itu saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR. Pada rapat tersebut, kata Arie, tidak ada komunikasi apa pun terkait pengadaan alat satelit monitoring.
Keterangan Arie di persidangan kemudian dibandingkan dengan keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ada perbedaan dari keterangan tersebut.
"Tadi Anda mengatakan tidak ada bantuan atau tawaran apapun dari terdakwa ini, tapi keterangan Anda dalam BAP, 9 Juni 2016 sebelum RDP saudara Fayakhun pernah sampaikan ke saya bahwa saudara Fayakhun akan bantu usulan anggaran. Keterangan Anda seperti ini bagaimana?" tanya hakim kepada Arie di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (26/9/2018).
"Itu maksudnya sebelum RDP ada ruang tunggu semua bicara seperti itu, saya tidak begitu terkesan karena semua ingin membantu," ujar Arie.
"Tapi pernah ada ucapan seperti itu?" konfirmasi hakim sidang suap Bakamla.
"Ketika berkenalan, oke lah nanti saya bantu," jawab Arie menirukan ucapan Fayakhun.
Dakwaan Jaksa
Fayakhun Andriadi didakwa menerima suap USD 911.480,00 terkait pengadaan alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ia diduga mengupayakan agar ada penambahan alokasi anggaran untuk Bakamla pada APBN Perubahan tahun 2016.
Dari pengadaan proyek tersebut, Fayakhun mematok jatah untuknya sebesar tujuh persen dari nilai proyek sebesar Rp 850 miliar. Fayakhun kemudian meminta anak buah Fahmi Darmawansyah, pemilik PT Merial Esa atau Melati Technofo pemenang proyek pengadaan alat satmon, bernama M Adami Okta merealisasi satu persen terlebih dahulu.
Realisasi 1 persen pun dilakukan Fahmi beberapa tahap sehingga mencapai USD 911.480,00.
Atas perbuatannya Fayakhun didakwa telah melanggar Pasal 12 a atau Pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1990 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Advertisement