Konflik 65 dan Mimpi Kadmi tentang Pendidikan

Theresia Kadmiyanti di sekitar Oktober 1965 hanya siswa Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Gadis remaja kelas tiga itu sudah punya cita-cita luhur ingin mengembangkan pendidikan.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 28 Sep 2018, 05:00 WIB
Theresia Kadmiyanti merupakan eks tapol yang ditahan hanya karena ikut menarikan Tari Genjer-Genjer.

Liputan6.com, Jakarta - Theresia Kadmiyanti di sekitar Oktober 1965 hanyalah siswa Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Tapi gadis remaja kelas tiga itu sudah punya cita-cita luhur ingin mengembangkan pendidikan masyarakat yang ada di sekitarnya. Halaman rumah yang disulap menjadi TK kecil adalah langkah awal dari seribu mimpi Kadmi tentang pendidikan.

"Ceritanya saya cuma ingin ngumpulke anak-anak biar bisa bergaul  dengan teman-teman yang lain," kata Kadmi.

Namun belum rampung mimpinya terwujud, Kadmi keburu dipenjara. Dia tak tahu pasti apa yang terjadi. Yang pasti anak gadis itu dibawa saat ikut Tari Genjer-Genjer, kegiatan seni yang diikutinya bersama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu oraganisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Kalau di daerah saya tari Genjer-Genjer Cuma joget biasa, macam tarian-tarian gitu mas," kata Kadmi.

Saat itu, ayah Kadmi juga dicari, dan sempat melarikan diri. Namun saat mendengar kabar anaknya dibawa, ayah Kadmi menyerahkan diri. Tak hanya itu, seperti yang dituturkan Kadmi, kakak keduanya juga 'diambil'. Sang ibu yang mengalami kejadian ini pontang-panting tidak karuan. Saat itu juga, perekonomian keluarga hancur. Adik-adiknya semua berhenti sekolah.

"Waktu itu saya diinterogasi di kamp dan ditelanjangi di sana. Kemaluan saya sampai dipermainkan tidak karuan, saya tidak bisa cerita lagi detilnya. Terlalu pahit," kata Kadmi menceritakan.

Baru pada 1969, Theresia dibebaskan. Setelah bebas, dirinya berusaha membantu lagi memulihkan keadaan ekonomi keluarga.Dia berjualan jagung rebus di pasar. Tiap pukul tiga pagi, Kadmi harus sudah siap dengan barang dagangannya, karena dia harus berjalan kaki ke pasar yang jaraknya mencapai 10 km.

Kini Kadmi yang semakin tua membuka usaha kerajinan kreatif. Dari rumahnya dia menerima pesanan pembuatan tas dan dompet. Meski sulit dalam hal pemasaran karena harus bersaing dengan pedagang besar, Kadmi masih berharap bisnisnya mampu menghidupinya di tengah stigma yang terus menjerat. 

Kadmi mengaku dirinya tidak pernah merasa dendam dan menyimpan dendam terhadap apa yang pernah dialaminya. Baginya hidup menjadi lebih susah saat terbelenggu kesusahan itu sendiri.

"Rasanya memang susah, tapi dendam tidak ada artinya, hanya menambah masalah," kata Kadmi menutup pembicaraan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya