Presiden Rouhani di Sidang Umum PBB: Iran Akan Tetap Ada di Suriah

Presiden Iran juga mengkritik AS dan Israel atas perlakuan kedua negara terhadap Palestina.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Sep 2018, 07:00 WIB
Presiden Iran Hassan Rouhani saat menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum PBB 2018 di New York (AP PHOTO / Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Presiden Hassan Rouhani, dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB mengatakan bahwa Iran akan terus ada di Suriah selama rezim Presiden Bashar al-Assad menginginkannya.

Akan tetapi, keberadaan Iran di Suriah bukan untuk mencari konflik dengan Amerika Serikat yang turut terlibat dalam perseteruan menahun di negara beribu kota Damaskus itu.

Berpidato pada 26 September 2018, Rouhani kembali menegaskan dukungan Iran terhadap rezim Assad dan mengklaim bahwa bantuan Teheran diperlukan untuk membentengi Suriah dari kelompok teror ISIS.

"Kehadiran kami di Suriah akan terus berlanjut selama pemerintah Suriah meminta kehadiran kami," kata Rouhani dalam konferensi pers di New York, seperti dikutip dari surat kabar The Times of Israel, Jumat (28/9/2018).

Lebih lanjut, Rouhani mengatakan, "Kami tidak ingin berperang dengan pasukan AS di manapun di kawasan ini. Kami tidak ingin menyerang mereka dan meningkatkan ketegangan."

"Tapi kami meminta Amerika Serikat untuk mematuhi undang-undang dan menghormati kedaulatan negara," katanya.

Pemerintahan Trump menikmati hubungan dekat dengan saingan regional Iran, Arab Saudi dan Israel, dan telah memperingatkan Teheran bahwa ia mengamati dengan seksama tindakan.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, berbicara pada hari Selasa, bersumpah untuk bertindak "dengan cepat dan tegas" terhadap tindakan Iran yang merusak kepentingan AS di wilayah tersebut.

Merespons komentar Pompeo, Presiden Iran menyindir, "Ketika Menlu AS mengatakan kami akan dimintai pertanggungjawaban, mengapa mereka pergi ke Irak di tempat pertama?" --merujuk pada invasi AS ke Irak pada 2003 yang dikritik keras oleh komunitas internasional.

Rouhani Kritik Israel dan AS Terkait Palestina

Rouhani juga mengatakan, Israel adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dunia dan mengklaim bahwa Amerika Serikat berencana untuk menggulingkan rezim Teheran.

"Kejahatan Israel yang tak terhitung banyaknya terhadap Palestina tidak akan mungkin terjadi tanpa bantuan politik dan militer dari AS," kata Rouhani dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB.

Dia juga menuduh Israel "secara terang-terangan mengancam orang lain dengan pemusnahan nuklir" dan mengatakan negara Yahudi itu merupakan "ancaman paling menakutkan bagi perdamaian regional dan global."

Pernyataan itu ditujukan untuk merespons pidato Donald Trump sebelumnya, yang menyebut Iran sebagai "sponsor terorisme terbesar di dunia yang hendak memiliki senjata paling berbahai di planet ini" --menggemakan kembali tuduhan sang presiden AS atas program nuklir Iran.

 

Simak video pilihan berikut:


Donald Trump Cari Dukungan DK PBB untuk Jatuhkan Sanksi ke Iran

Presiden Iran Hassan Rouhani saat menyampaikan pidato di hadapan Sidang Majelis Umum PBB (AFP)

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendesak Dewan Keamanan PBB untuk bekerjasama dengan AS guna menambah sanksi ekonomi kepada Iran, sebagai bentuk pencegahan agar Teheran tak mengembangkan hulu ledak nuklir.

Saat memimpin rapat Dewan Keamanan PBB di sela Sidang Majelis Umum PBB 2018 di New York, AS pada 26 September 2018, Trump juga mengancam bahwa "siapa saja yang gagal mematuhi sanksi AS akan "menghadapi konsekuensi berat," demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis 27 September 2018.

"Saya meminta anggota Dewan Keamanan PBB untuk bekerja dengan AS (dalam hal penerapan sanksi) demi menjamin agar rezim Iran mengubah perilakunya dan agar mereka tak berhasil memperoleh bom nuklir," kata Trump saat memimpin rapat Sidang Majelis Umum PBB di New York pada 26 September 2018.

Amerika kembali memberlakukan sanksi kepada Iran setelah Trump menarik AS keluar dari Joint Comprehenive Plan of Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir Iran --pakta kesepakatan antara Iran dan lima negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa-- pada Mei 2018.

Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.

Namun, pemerintahan Presiden Trump menuding bahwa Teheran diam-diam mencurangi JCPOA dengan masih terus melakukan pengembangan nuklir. Tuduhan itu yang kemudian memicu Trump menarik AS keluar dari JCPOA dan secara efektif memberlakukan kembali sanksi ekonomi kepada Negeri Para Mullah.

Kini, Trump mengajak Dewan Keamanan, sebagai badan PBB dengan mandat kuat terkait penerapan sanksi ekonomi kepada negara sasaran (seperti sanksi yang diterapkan DK kepada Korea Utara), untuk mengikuti jejak Washington DC.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya