BI Yakin Target Pertumbuhan Ekonomi RI di 2018 Tercapai

Kenaikan pertumbuhan ekspor diperkirakan masih terbatas seiring ekspor pertanian yang masih lemah.

oleh Merdeka.com diperbarui 27 Sep 2018, 20:10 WIB
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Wardjio (tengah) saat jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis (27/9). RDG BI memutuskan menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,75%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan konsumsi rumah tangga di Indonesia tetap kuat didukung oleh perbaikan pendapatan dan belanja pemilu. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut akan menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, Investasi diperkirakan juga masih tumbuh cukup tinggi ditopang baik investasi bangunan, terkait proyek infrastruktur dan properti, maupun investasi nonbangunan.

"Namun, kenaikan pertumbuhan ekspor diperkirakan masih terbatas seiring ekspor pertanian yang masih lemah," kata Perry di kantornya, Kamis (27/9/2018).

Sedangkan ekspor manufaktur membaik didukung subsektor kimia serta besi dan baja.

Sementara itu, impor tetap tinggi dipengaruhi permintaan domestik yang tetap kuat, termasuk investasi yang mendorong impor barang modal tetap tinggi.

"Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diperkirakan masih dalam kisaran 5,0-5,4 persen dan akan meningkat menjadi 5,1-5,5 persen pada tahun 2019," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Rizal Ramli Prediksi Ekonomi RI Hanya Tumbuh 5 Persen

Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli saat diskusi serial untuk edukasi pemilih dengan tema "Debat-Tak Debat: Utang Besar Buat Siapa? di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Selasa (3/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli, mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan lebih dari kisaran 5 persen. Hal ini karena kebijakan ekonomi pemerintah yang dalam pandangannya, salah arah.

"Mari kita flashback, kok bisa kita (Indonesia) ada di titik bawah ini. Penjelasannya sederhana, cara ambil kebijakan ekonominya salah, malah lakukan pengetatan saat ekonomi dunia alami perlambatan. Jangan aneh jika ekonominya nyungsep paling muter di sekitar 5 persen saja," kata Rizal pada 26 September 2018. 

Dia menuturkan, kinerja ekonomi Indonesia saat ini yang bertumpu pada pengumpulan pajak, dan pemotongan anggaran atau yang lebih dikenal dengan istilah 'Austerity' tidak akan memompa ekonomi, tapi justru membuat ekonomi melambat. 

"Kalau sangat super konservatif yaitu saat ekonomi sedang perlambatan, potong anggaran, pengetatan. Austerity program gagal di seluruh dunia," kata Rizal.

Menurut dia, salah satu negara yang pernah menelan pil pahit austerity, adalah Yunani. Yunani sudah coba menerapkan kebijakan ini sebanyak tiga kali dan berakhir gagal. 

"Yunani gagal 3 kali masyarakat ekonomi makin miskin. Harga saham perusahaan jatuh barulah datang pengusaha dari China yang beli aset-aset harga murah," kata dia.

"Jadi tidak aneh yang terjadi hari ini. Kalau obatnya pengetatan, uber pajak, potong anggaran pasti begini. Banyak di Indonesia orang tidak ngerti. Bisa kok membaik, apanya yang bisa membaik. Obat udah dites puluhan kali di Asia Afrika," ujar dia.

Oleh karena itu, kebijakan menjadi tidak populer, terutama di negara-negara maju. "Negara maju tidak mau pakai ini. Negara maju kalau ekonomi melambat dia pompa stimulus dengan tingkat bunga yang murah,” kata dia.

"Jepang juga demikian. Trade war barang-barang dia bermasalah. Maka dia injeksikan uang ke sistem perbankan besar sekali, sehingga mata uangnya jatuh menciptakan stimulus baru," tambah dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya