Mensos Paparkan Gagasan Pembangunan Kesos Transformatif

Menteri Sosial, Agus Gumiwang Kartasasmita berpendapat bahwa pembangunan kesejahteraan sosial yang mengusung visi transformatif, penting untuk terus diperkuat, untuk menghadapi era revolusi industri 4.0.

oleh Reza diperbarui 27 Sep 2018, 19:45 WIB
Menteri Sosial, Agus Gumiwang Kartasasmita berpendapat bahwa pembangunan kesejahteraan sosial yang mengusung visi transformatif, penting untuk terus diperkuat, untuk menghadapi era revolusi industri 4.0.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Sosial, Agus Gumiwang Kartasasmita berpendapat bahwa pembangunan kesejahteraan sosial yang mengusung visi transformatif, penting untuk terus diperkuat, untuk menghadapi era revolusi industri 4.0. Kesejahteraan sosial yang transformatif berlandaskan pada cita-cita keadilan sosial.

“Bantuan untuk masyarakat miskin dan lemah diwujudkan dengan membekali mereka dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Upaya ini, sekaligus memperbesar potensi serapan tenaga kerja secara nasional,” kata Mensos, dalam orasi ilmiahnya pada Wisuda Magister, Sarjana dan Diploma Ke-28 Universitas Darma Persada, Jakarta, Kamis (27/09/2018).

Dalam orasi berjudul “Merintis Kebijakan Pembangunan Kesejahteraan Sosial Yang Transformatif: Pembangunan Sumber Daya Manusia Melalui Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Di Era Revolusi Industri 4.0 “, itu Mensos menekankan pentingnya mengkaitkan strategi pembangunan kesejahteraan sosial dengan penyiapan kualitas SDM yakni kemampuan vokasional.

Inilah yang ia maksud sebagai kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial transformatif. “Yakni mentransformasikan masyarakat dari miskin menjadi mampu, dari tidak berketerampilan menjadi mempunyai keterampilan sehingga siap dalam menghadapi persaingan di pasar kerja,” kata Mensos.

Untuk mewujudkan gagasan ini, Mensos memandang, perlu juga memperkuat kapasitas dan daya dukung lembaga-lembaga pelatihan kerja, badan sertifikasi profesi yang sedang dilakukan pemerintah melalui pelatihan di Balai Latihan Kerja dan program-program pemagangan.

Konteks keterampilan yang penting sebagai modal dasar SDM juga dimaknai dalam aspek kepemimpinan (leadership) dan bekerja dalam team (teamwork), kelincahan dan kematangan budaya (cultural agility), dengan latar belakang budaya yang berbeda tetap bisa bekerja sama, dan enterpreneurship (termasuk sociopreneurship).

“Upaya peningkatan kompetensi dan produktivitas SDM, perlu dilakukan secara massif,” kata Mensos. Ia mengajak semua pihak untuk tidak terpaku pada pemahanan tentang literasi manusia lama yang berorientasi kerja formal, yang hanya mendasarkan pada kemampuan membaca, menulis dan menghitung. Ini diaggap tidak akan sanggup menjawab tantangan era revolusi industri 4.0.

Kepada masyarakat akademis dan perguruan tinggi, perlu mengkaji kembali kurikulum yang ada, sehingga output-nya mampu menguasai literasi baru, yaitu : (1) literasi data, yaitu kemampuan membaca, menganalisis dan memanfaatkan informasi big data dalam dunia digital, (2) literasi teknologi, yaitu memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence dan engineering principles, dan (3) literasi manusia, humanities, komunikasi dan desain.

“Dalam perspektif literasi manusia, tujuannya adalah agar manusia dapat berfungsi dengan baik di lingkungan yang semakin dinamis,” kata Mensos. Pada konteks itu, perguruan tinggi perlu mencari cara baru untuk mengembangkan kapasitas kognisi manusia, yaitu higher order mental skills, berfikir kritis dan sistemik.

Dalam orasi setebal 19 halaman ini, untuk sukses menghadapi revolusi industri 4.0, Mensos menekankan pada tiga aspek. Pertama adalah kualitas, yaitu upaya menghasilkan SDM yang berkualitas agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang berbasis teknologi digital. Kedua, adalah masalah kuantitas, yaitu menghasilkan jumlah SDM yang berkualitas, kompeten dan sesuai kebutuhan industri.

Ketiga adalah masalah distribusi SDM berkualitas yang masih belum merata akibat besarnya jurang perbedaan atas masyarakat di Indonesia.

Kategorisasi tacit dan explicit knowledge menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) dan Polanyi (1966) juga penting untuk diperhatikan dalam era industri 4.0. Pengetahuan yang bersifat formal dan sistemik yang dapat diekspresikan dengan kata-kata dan angka disebut explicit knowledge. Sedangkan pengetahuan yang bersifat istimewa, sangat pribadi dan sulit untuk diformalkan dan dikomunukasikan disebut tacit knowledge.

Gagasan Mensos ini, sekaligus untuk mengkritisi pandangan konvensional yang berpendapat bahwa perlindungan sosial diwujudkan dengan menebar “jaring pengaman” ( safety net policy). Kebijakan yang populer dekade 80-an ini, melihat bantuan sosial yang sangat minimalis di negara-negara yang terlalu miskin dan secara administratif lemah untuk memperkenalkan program kesejahteraan sosial yang lebih komprehensif.

Selama dasawarsa 1990-an, kebijakan 'jaring pengaman' dianggap menjadi resep manjur mengatasi masalah kemiskinan. Namun gagasan ini dinilai Mensos sebagai sebatas 'perlindungan ekonomi' sempit, bukan “kesejahteraan sosial” sebagaimana diharapkan.

 

(*)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya