Teknologi dari Tiongkok, Dicari Sekaligus Dicaci

Tiongkok tengah menjadi penantang terkuat dalam produksi produk-produk teknologi dunia yang selama ini didominasi Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang.

Oleh DW.com diperbarui 02 Okt 2018, 08:00 WIB
Kantor Xiaomi di Maofanglu Road, Beijing. Tempat Vice President International Xiaomi Hugo Barra beraktivitas. Liputan6.com/Agustin Setyo Wardani

Liputan6.com, Jakarta - Artikel ini merupakan artikel opini yang ditulis oleh Rahadian Rundjan yang diterbitkan oleh DW Indonesia. Ia merupakan esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah.

Masih teringat, sekitar 10 tahun lalu ketika seorang guru bercerita tentang kebangkitan teknologi Tiongkok.

Katanya, penduduk desa Negeri Tirai Bambu tersebut sudah mampu merakit flashdisk, perangkat keras penyimpanan data yang saat itu digadang-gadang akan menggantikan disket, sebagai bagian industri rumahan.

Ucapannya itu merespon iklan yang dibuat Telkom tentang internet yang masuk ke sebuah sekolah di daerah pedesaan Indonesia, dengan penduduknya yang masih lugu-lugu.

Entah ucapannya sungguh-sungguh atau sekedar perbandingan hiperbola untuk menggugah kami murid-muridnya.

Satu dekade berlangsung, kebangkitan tersebut menjelma menjadi keperkasaan. Tiongkok tengah menjadi penantang terkuat dalam produksi produk-produk teknologi dunia yang selama ini didominasi Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang.

Di banyak negara, produk-produk teknologi Tiongkok mulai melakukan penetrasi dagang secara halus, bahkan blak-blakan, untuk merebut pasar dari pesaing-pesaingnya yang telah begitu mapan.

Agresivitas Tiongkok ini bisa menjadi bencana atau karunia, tergantung yang terlibat. Namun bagi Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) bermulut besar yang ucapan-ucapan tak terprediksinya, pasti sering membuat panas dingin penasihat-penasihat ekonominya, Tiongkok merupakan ancaman.

Misalnya saja, pada 22 Maret 2018 lalu ia meneken kebijakan untuk menaikkan bea masuk sebesar 25 perse terhadap sekitar 1.300 produk-produk Tiongkok, yang bernilai US$ 50 miliar (Rp 687 triliun) per tahun.

Alasannya, karena barang-barang Tiongkok yang diimpor AS jumlahnya lebih banyak daripada sebaliknya, khususnya barang-barang elektronik, suku cadang pesawat terbang, panel surya, sampai mesin cuci.

Neraca perdagangan Amerika defisit. Namun, Tiongkok menolak tunduk terhadap kesemena-menaan bea masuk Trump tersebut.

Bahkan, mereka siap untuk melakukan perang dagang dengan Amerika, sesuatu yang banyak pakar perkirakan akan lebih merugikan Amerika.

Dalam konteks dunia, kepercayaan diri Tiongkok untuk memasarkan produk-produk teknologinya tengah melangit, sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh negara-negara lain.

Lalu, bagaimana dengan reaksi negara-negara target pasarnya, terutama kelompok negara berkembang seperti Indonesia?

 


Tidak Lagi Murahan

Ilustrasi: Alibaba (Sumber: Ubergizmo)

Ada ucapan yang bunyinya kira-kira seperti ini: "Tuhan menciptakan langit dan bumi, sisanya dibuat oleh orang-orang Tiongkok”.

Entah sejak kapan kalimat guyonan tersebut menjadi viral, tetapi benar rasanya bahwa benda-benda dengan label ‘Made in China' kini dapat ditemukan di mana-mana, dari raket nyamuk sampai satelit yang mengorbit di luar angkasa.

Melihat sejarahnya, setidaknya pada abad ke-3, Kekaisaran Romawi sudah berkontak dengan Tiongkok Dinasti Han.

Selanjutnya, barang-barang Tiongkok, terutama porselen dan sutra, dihargai tinggi di peradaban-peradaban Barat turunan Romawi.

Ekspor Tiongkok begitu intens, tetapi Tiongkok dapat dikatakan sedikit sekali mengimpor barang-barang dari luar negeri.

Berabad-abad, kemandirian ekonomi Tiongkok ini baru goyah ketika Inggris, dengan jalan perang selama 1839-1860, memaksa Tiongkok mengimpor opium sebagai balasan atas ekspor tehnya yang membengkak dan membuat neraca perdagangan Inggris merosot.

Di Indonesia masa kini, ceritanya sedikit berbeda. Sekitar akhir 2017 lalu memutuskan untuk membeli smartphone baru, mengganti Nokia Lumia yang sudah lima tahun dipakai.

Awalnya, saya ingin membeli kembali merek ikonik asal Finlandia tersebut. Namun, ternyata merek Nokia sudah turun pamor, baik dalam perangkat keras maupun lunaknya, oleh merek-merek mapan asal Korea dan Jepang.

Dan saya terkejut mengetahui bahwa merek-merek Tiongkok kini sudah mendapat tempat yang terhormat di kalangan pengguna smartphone Indonesia.


Kehadiran Brand Smartphone Tiongkok

Tampilan depan Oppo Find X. Liputan6.com/ Agustin Setyo Wardani

Maklum, sampai beberapa waktu lalu merek-merek Tiongkok masih lekat dengan label abal-abal dan cepat rusak.

Namun, kehadiran Oppo, Vivo, Xiaomi, Huawei, dan merek-merek lain seperti Meizu, Lenovo, ZTE, di pasar Indonesia beberapa tahun belakangan mengubahnya.

Sejurus kemudian, smartphone Tiongkok laris diulas dan dibeli, khususnya produk tipe kelas menengah. Rahasianya: spesifikasi perangkat berkualitas setara, dan harga yang terlewat murah.

Contohnya smartphone Xiaomi Redmi 5A yang diluncurkan pada 20 Desember 2017 lalu dengan bandrol Rp 999.000 tetapi berspesifikasi setara dengan produk berharga dua sampai tiga jutaan dari merek-merek lain.

Dalam penjualan kilat di peluncuran perdananya saja, perangkat tersebut ludes dalam waktu beberapa menit. Xiaomi agaknya menerapkan strategi bisnis "laku keras untung sedikit”, yang banyak orang mengatakannya sebagai stereotip khas pedagang-pedagang Tiongkok. Setidaknya, di Indonesia strategi itu disambut meriah.

Belum lama, International Data Corporation (IDC) sempat merilis laporan penjualan smartphone tahun 2017 keseluruhan.

Total, 30,4 juta unit smartphone terjual di Indonesia. Lima besarnya ialah Samsung (31,8 persen), Oppo (22,9 persen), Advan (7,7 persen), Asus (6,5 persen), Vivo (6 persen), dan lainnya (25,1persen).

Samsung masih digdaya, tetapi gabungan seluruh merek Tiongkok tersebut (jika Asus yang asal Taiwan ikut dihitung), jumlah persentasenya sudah mengalahkan pabrikan asal Korea tersebut.

Bahkan pada 2018 ini, merek-merek Tiongkok diperkirakan akan makin membanjiri pasar smartphone di Indonesia.

Industri mobil pun tampaknya setali tiga uang. Merek-merek Jepang yang sudah mapan di Indonesia mulai diganggu oleh pabrikan Tiongkok, Wuling.

Strateginya serupa, mobil-mobil Wuling, seperti Confero dan Cortez, dibandrol murah tapi berspesifikasi setara dengan mobil-mobil Jepang yang mahal.

Sejauh ini, para mayoritas pengulas mobil ternama di Indonesia mengacungkan jempol kepada Wuling.

Halangan terbesarnya mungkin adalah "brand minded” masyarakat terhadap mobil-mobil Jepang, namun Wuling dilaporkan sudah membuka sekira 50 gerainya di seluruh Indonesia untuk meyakinkan masyarakat akan keseriusan kehadiran mereka.

Pastinya, status quo merek-merek mobil Jepang berpotensi goncang. Mungkinkah dalam waktu dekat mobil-mobil Tiongkok membanjiri pasar otomotif Indonesia layaknya perangkat smartphone mereka?

Kemungkinannya cukup besar, dan bakal memaksa sang samurai tua untuk bereaksi agar tidak tersingkir kembali, seperti smartphone Sony mereka yang tergusur beberapa tahun lalu.


Menjanjikan Tetapi Tetap Waspada

Tampilan Oppo F9 yang kini hadir dalam varian warna starry purple (sumber: istimewa)

Tiongkok dan Indonesia, dua negara yang sama-sama memulai nafas kehidupannya yang damai sejak 1949, kini begitu berbeda rupa.

Tiongkok sudah bisa membuat dan menjual produk-produk teknologinya, sedangkan kita masih membeli dan menggerutuinya.

Di mata konsumen, produk Tiongkok yang murah memang begitu menggiurkan, tetapi pemerintah harus memikirkan sebuah regulasi tepat sasaran agar penetrasi ekonomi ini tidak diikuti dengan tekanan-tekanan politik yang merugikan negara.

Ambisi teknologi Tiongkok di Indonesia memang begitu terasa, seperti polemik tender kereta cepat Jakarta-Bandung pada 2016 lalu yang akhirnya jatuh ke tangan Tiongkok, dan diprotes Jepang.

Sederhananya, ambisi politik ekonomi global Tiongkok dan niatnya mendompleng hegemoni Barat wajib diwaspadai.

Terlebih lagi, ketika kawasan Indonesia sudah diproyeksikan untuk ambil bagian dalam proyek One Belt One Road (OBOR), sebuah inisiatif perdagangan dan pembangunan ekonomi terkoneksi di Eurasia yang dimotori Tiongkok.

Karenanya, sudah saatnya kita berhenti meremehkan produk-produk teknologi Tiongkok dengan membabi buta.

Juga, saya pribadi menganggap seruan-seruan peringatan akan ancaman-ancaman Tiongkok yang dikemukakan secara gamblang oleh kelompok fundamentalis Indonesia tidak bersubstansi karena didasarkan atas emosi dan rasa benci, bukan dari keinginan untuk berkompetisi.

Padahal, Tiongkok memberikan pelajaran berharga: kembangkan teknologi sendiri meski dicaci, jika terbukti sukses maka orang-orang pasti akan mencari.

Penulis: Rahadian Rundjan

Sumber: DW.com

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya