Kinerja BUMN Diklaim Tak Terganggu Rupiah Melemah

Nilai tukar rupiah melemah ini sudah diantisipasi oleh berbagai perusahaan di Indonesia, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 28 Sep 2018, 19:11 WIB
Jajaran tiang beton proyek LRT di Jakarta, Kamis (6/9). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berdampak terhadap proyek infrastruktur karena sebagian bahan baku serta teknologi diimpor. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah. Namun, nampaknya nilai tukar rupiah melemah ini sudah diantisipasi oleh berbagai perusahaan di Indonesia, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kinerja perusahaan negara. Sebab, dalam bisnisnya BUMN selalu mengantisipasi setiap risiko. 

"Soal kurs sebenarnya tidak terlalu masalah untuk BUMN. Kenapa? Karena ada yang namanya natural hedging. Lalu ada BUMN-BUMN yang penghasilannya dolar AS, contohnya pertambangan. Jadi, kurs berapapun tidak berpengaruh karena dolar ke dolar," ujar Harry di Jakarta, Jumat (28/9/2018).

Sementara itu, sambung Harry, untuk BUMN yang pendapatannya dalam bentuk rupiah seperti PLN dan KAI telah mengantisipasi dengan cara hedging sehingga risiko kerugian akibat kurs bisa teratasi.

"Adapun BUMN yang sedikit diuntungkan. Siapa dia? Jasa Marga dan Wijaya Karya yang punya akses ke pasar modal di London tapi dalam bentuk Rupiah. Ini yang kita namakan Komodo Bond. Jadi untuk pertama kalinya, Indonesia mendaftarkan utangnya di London, tetapi berdenominasi rupiah," ujar dia.

Di kesempatan terpisah, Direktur Utama Jasa Marga Desi Arryani menegaskan tidak terlalu khawatir dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Hal ini karena proyek-proyek jalan tol yang dikerjakan Jasa Marga menggunakan pembiayaan rupiah. Semua proyek pun tetap berjalan sesuai rencana.

"Alhamdulillah dalam hal ini tidak ada dampaknya soal pelemahan rupiah. Kami tidak memiliki pinjaman mata uang asing, bahkan investor asing berani investasi di Jasa Marga dengan melakukan perubahan currency,” ucap Desi.

Seperti diketahui, nilai tukar rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,05 persen pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level 14.905 per dolar AS.

Dengan perkembangan ini maka secara year to date (ytd) sampai dengan 26 September 2018, rupiah terdepresiasi 8,97 persen atau lebih rendah dari India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki. (Yas)

 


Faktor yang Bikin Tekanan Rupiah Lebih Rendah pada 2019

Warga mengecek nilai tukar Rupiah terhadap USD menggunakan ponselnya di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Nilai tukar Rupiah di pasar spot menguat tipis 0,06 persen ke Rp 14.926 per dollar Amerika. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) optimistis tekanan pada nilai tukar rupiah akan melemah pada 2019.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan tekanan-tekanan yang saat ini terjadi pada nilai tukar rupiah akan lebih rendah pada  2019.

Dia menjelaskan, optimisme tersebut tidak lepas dari beberapa faktor. Faktor pertama adalah kepastian akan terjadinya normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju.

"Mulai tahun depan sejumlah Bank Sentral lain itu juga mulai merencanakan atau bahkan mulai mengimplementasikan normalisasi kebijakan moneternya, khususnya di paruh kedua tahun depan, Eropa , Jepang atau yang lain sejumlah Bank Sentral negara maju," kata Perry di kantornya, Kamis 27 September 2018.

Hal tersebut dipastikan akan membuat dolar Amerika Serikat (AS) tidak seperkasa pada 2018. Beberapa mata uang lain akan kembali menguat dan menyaingi mata uang negara Paman Sam tersebut.

"Oleh karena itu yang terjadi normalisasi kebijakan moneter nya bukan hanya Amerika Serikat, tetapi juga Bank Sentral lain sehingga ini juga akan mengurangi kekuatan dolar AS. Sekarang dolar AS paling kuat. Tahun depan akan ada saingannya oleh mata uang - mata uang lain," ujar Perry.

Faktor selanjutnya adalah perubahan perilaku investor global. Investor akan mulai menaruh kembali dana yang sempat ditarik dari negara berkembang.

Sebelumnya, investor global menarik dana dari negara-negara emerging market sebagai respons dari ketidakpastian global serta keagresifan The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya.

"Ini saja sudah mulai mereka sedikit-sedikit kembali berinvestasi di emerging market. Mulai tahun depan, itu perilaku yang seperti ini akan semakin kuat dan karena itu juga memberikan faktor positif bagi kembalinya arus modal asing dari global ke emerging market termasuk Indonesia," tutur Perry.

Faktor terakhir adalah faktor domestik atau internal. Diperkirakan pada tahun depan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang saat ini tengah membengkak akan kembali normal.

"Kami sampaikan tekanan dari neraca pembayaran kan jauh lebih rendah, 2,5 persen terhadap PDB sehingga tentu saja kebutuhan valasnya dalam negeri juga akan lebih rendah. Berbagai faktor ini kenapa waktu itu di DPR kami sampaikan kami perkirakan 2019 itu tekanan terhadap rupiah nya akan lebih rendah," ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya