Pertumbuhan Ekonomi RI di 2018 Bakal di Bawah Asumsi APBN 2018

Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,6 persen atau bahkan 6 persen hingga akhir tahun.

oleh Merdeka.com diperbarui 28 Sep 2018, 19:45 WIB
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat jumpa pers di Gedung BI, Jakarta, Jumat (29/06). Pada Rapat Dewan Gubernur BI suku bunga Deposit Facility (DF) juga naik 50 bps menjadi 4,50%, (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun nanti akan berada di bawah level 5,2 persen. Angka ini lebih rendah dari asumsi dasar pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Modal (APBN) 2018 yang diperkirakan sebesar 5,4 persen.

"Jadi kan begini diperkirakan antara 5 sampe 5,4 persen tahun ini. Kemungkinan akan sedikit di bawah 5,2 persen seperti itu," kata Perry saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat (28/9/2018).

Perry mengatakan, berdasarkan beberapa metode pengukuran, sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,6 persen atau bahkan 6 persen hingga akhir tahun.

"Tergantung metodenya, kalau seperti filtering segala macem itu kurang lebih potensial output kita 5,6 persen. Tapi kalau berdasarkan production function bisa sampai 6 persen. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi 5,2 itu masih dibawah pertumbuhan yang potensialnya," jelas Perry.

Perry menilai, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari potensinya tersebut, menjadi penyebab rendahya indeks harga konsumen (IHK). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada minggu keempat September 2018 telah terjadi deflasi sebesar 0,06 persen secara month to month (mtm). Sedangkan secara secara year on year (yoy) mencapai 3,02 persen.

"Itu kenapa meski permintaan naik, tapi kapasitas produksinya itu mencukupi sehingga kenaikan permintaan tidak timbulkan tekanan pada harga-harga," pungkas Perry.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Rizal Ramli Prediksi Ekonomi RI Hanya Tumbuh 5 Persen

Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli saat diskusi serial untuk edukasi pemilih dengan tema "Debat-Tak Debat: Utang Besar Buat Siapa? di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Selasa (3/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli, mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan lebih dari kisaran 5 persen. Hal ini karena kebijakan ekonomi pemerintah yang dalam pandangannya, salah arah.

"Mari kita flashback, kok bisa kita (Indonesia) ada di titik bawah ini. Penjelasannya sederhana, cara ambil kebijakan ekonominya salah, malah lakukan pengetatan saat ekonomi dunia alami perlambatan. Jangan aneh jika ekonominya nyungsep paling muter di sekitar 5 persen saja," kata Rizal dalam sebuah diskusi di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (26/9/2018). 

Dia menuturkan, kinerja ekonomi Indonesia saat ini yang bertumpu pada pengumpulan pajak, dan pemotongan anggaran atau yang lebih dikenal dengan istilah 'Austerity' tidak akan memompa ekonomi, tapi justru membuat ekonomi melambat.  

"Kalau sangat super konservatif yaitu saat ekonomi sedang perlambatan, potong anggaran, pengetatan. Austerity program gagal di seluruh dunia," kata Rizal.

Menurut dia, salah satu negara yang pernah menelan pil pahit austerity, adalah Yunani. Yunani sudah coba menerapkan kebijakan ini sebanyak tiga kali dan berakhir gagal. 

"Yunani gagal 3 kali masyarakat ekonomi makin miskin. Harga saham perusahaan jatuh barulah datang pengusaha dari China yang beli aset-aset harga murah," kata dia.

"Jadi tidak aneh yang terjadi hari ini. Kalau obatnya pengetatan, uber pajak, potong anggaran pasti begini. Banyak di Indonesia orang tidak ngerti. Bisa kok membaik, apanya yang bisa membaik. Obat udah dites puluhan kali di Asia Afrika," ujar dia.

Oleh karena itu, kebijakan menjadi tidak populer, terutama di negara-negara maju. "Negara maju tidak mau pakai ini. Negara maju kalau ekonomi melambat dia pompa stimulus dengan tingkat bunga yang murah,” kata dia.

"Jepang juga demikian. Trade war barang-barang dia bermasalah. Maka dia injeksikan uang ke sistem perbankan besar sekali, sehingga mata uangnya jatuh menciptakan stimulus baru," tambah dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya