Liputan6.com, Jakarta - Pertandingan Persib Bandung dengan Persija Jakarta yang berlangsung Minggu 23 September 2018 menjadi ajang penting bagi Haringga Sirla. Anggota Jakmania asal Cengkareng, Jakarta Barat, itu tak ingin ketinggalan menyaksikan secara langsung tim kesayangannya berlaga di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, Jawa Barat.
Padahal, pertandingan kedua klub sepakbola itu dinilai angker oleh para suporter sepakbola Tanah Air. Alasannya, laga itu acap menimbulkan korban jiwa, baik dari suporter Persija Jakarta, Jakmania maupun suporter Persib Bandung, Bobotoh.
Advertisement
Namun itu tidak menyurutkan niat Harlingga untuk tetap berangkat. Tanpa diselimuti rasa takut, dia meluncur ke Kota Kembang dengan menggunakan kereta api. Haringgapun tak pamit dengan keluarganya. .
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, ia pun tiba di Stasiun Bandung pukul 13.00 WIB. Di saat bersamaan, kawasan Stadion GBLA telah ramai oleh aksi Bobotoh yang men-sweeping Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Namun nahas. Langkah Haringga terhenti setelah menjadi sasaran razia. Identitasnya sebagai warga Jakarta diketahui dari kartu anggota Jakmania yang dibawa. Dia pun diteriaki sebagai anggota pendukung klub Macan Kemayoran.
Mendapat teriakan itu, Haringga sekuat tenaga menyelamatkan diri dari kejaran bobotoh. Dia menjerit meminta tolong. Tubuh gempalnya dipaksa berlari sekencang mungkin agar terhindar dari maut.
Namun jeritan Haringga tak digubris. Dia pun berlindung di balik pedagang bakso. Namun sang pedagang itu juga tak kuasa menolong Haringga. Massa yang sudah beringas tak mampu dibendung lagi. Mereka menganiaya Haringga hingga tewas.
Kematian Haringga menambah panjang daftar kelam suporter Tanah Air. Pada musim lalu di tempat yang sama, Ricko Andrean juga menjadi korban salah keroyok usai duel kompetisi Liga 1 2017 antara Persib Bandung Vs Persija Jakarta, Sabtu 22 Juli 2017.
Data Save Our Soccer menyebut, Haringga menjadi korban tewas ke-7 dalam sejarah pertandingan antara Persib dan Persija. Bahkan selama 23 tahun, tercatat ada 56 fans sepak bola Indonesia tewas secara mengenaskan.
Menurut Peneliti Hukum Olahraga Eko Noer Kristiyanto, aksi keji itu terus terulang karena tidak adanya solusi yang konkret. Jalan keluar yang ditawarkan hanya mempertemukan para pentolan klub yang kemudian diminta bersalaman. Padahal di akar rumput ini sebetulnya ada dendam.
"Tidak menyentuh hal substantif. Intinya kan ada kebencian yang mengakar. Ini khusus buat Jakmania dan Bobotoh saja ya, ada kebencian yang mengakar dan enggak ada upaya serius untuk memadamkannya," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (28/9/2018).
Sebagai solusinya, lanjut Eko, perlu ada regulasi khusus yang dibentuk pemerintah dan federasi. Termasuk aturan main bersifat teknis. "Regulasi khusus ini dilaksanakan bukan cuma otoritas sepakbola tapi juga komunitas suporter," ujar Eko.
Dan untuk jangka pendeknya, dia mengusulkan agar setiap pertandingan Persib melawan Persija, tidak ada suporter dari kedua pihak. Meski itu akan menggerus pendapatan yang dihasilkan dari laga tersebut.
"Pasti ada kerugian dari tiket, tapi itu tidak ada artinya bagi keselamatan nyawa manusia," kata Eko.
Dia menegaskan, aksi anarkistis bobotoh itu sebagai tindakan kriminal murni. Polisi diminta menegakkan aturan hukum terhadap para pelaku sadis itu yang selanjutnya dapat menyasar pihak terkait.
"Tegakkan saja hukum pidananya, udah. Hukum negara ditegakkan oleh polisi ntar kita bicara otoritas federasi terkait sanksi buat kru, maupun suporter dan lainnya," ujar dia.
Saksikan video menarik berikut ini:
Terancam Hukuman Mati
Polisi telah menetapkan delapan orang tersangka terkait kasus penganiayaan Harlingga Sirla. Mereka adalah Budiman (41), Goni Abdulrahman (20), Cepy Gunawan (20), Aditya Anggara (19), Dadang Supriatna (19), Joko Susilo (31), SM (17), dan DF (16).
Dalam proses penyidikan, polisi terus melengkapi berkas perkara kasus tersebut. Berkas itu secepatnya akan dilimpahkan ke Kejaksaan.
"Target kita, minggu depan dikirimkan berkas ke kejaksaan," kata Kasatreskrim Polrestabes Bandung Ajun Komisaris Besar M Yoris Maulana di Mapolrestabes Bandung, Jumat (28/9/2018).
Saat ditemui di Semarang, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, mengungkapkan dua dari delapan tersangka yang masih di bawah umur akan dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Karena definisi anak itu berusia 0-18 tahun," kata Yohana, Selasa 25 September 2018.
Yohana mengaku sudah menerima laporan dari unit pelayanan di Kementerian PPPA. Dia memastikan bahwa penyidikan hukum terhadap dua tersangka yang masih di bawah umur itu telah sesuai UU Perlindungan Anak.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil. Dia menegaskan, harus ada perbedaan hukuman bagi pelaku dewasa dan yang masih di bawah umur.
"Kalau perbuatannya direncanakan tentu saja berpotensi diancam hukuman mati. Sedangkan anak di bawah umur sesuai UU Peradilan Anak nomor 11 Tahun 2012," ujar Nasir kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa 25 September 2018.
Meski begitu, politikus PKS ini menilai sebelum hukuman mati, bisa juga hukuman seumur hidup dijatuhkan kepada pelaku berusia dewasa.
"Adapun pelaku kategori usia dewasa, maka ancaman hukumannya selain hukuman mati juga bisa diancam hukuman seumur hidup jika dalam melakukan aksinya didahului oleh perencanaan dari pelakunya," tegas Nasir.
Polisi sebelumnya melakukan rekonstruksi di tempat kejadian perkara. Ada 16 adegan yang diperagakan delapan tersangka untuk memberikan gambaran kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait insiden penganiayaan.
Aksi pemukulan dalam rekonstruksi diawali oleh Budiman. Ia memukul menggunakan besi sebanyak tiga kali di bagian kepala korban.
Setelah itu, tersangka SM ikut memukul dengan tangan kiri. Usai itu, dia mundur sejenak. Sambil membawa keling tangan, dia kembali memukul bagian kepala Haringga sebanyak tiga kali.
Pelaku lain Dadang juga menendang korban sebanyak dua kali di bagian kepala. Tak lama berselang, Goni pun menendang punggung korban dua kali.
Setelah itu, Dede Supriadi yang dalam kasus ini menjadi saksi, berlari ke arah kerumunan dan berusaha melerai. Namun, massa yang saat itu sudah terprovokasi tak mengindahkan permintaan Dede.
"Saya teriak setop, tapi massa banyak sekali. Saya juga sadar diri, saya tidak pakai atribut Persib," katanya.
Usaha Dede menghentikan penganiayaan itu tak membuahkan hasil. Pelaku lainnya, Aditya tiba-tiba menghampiri korban dan memukul bagian pipi Haringga dengan tangan kosong. Tak berhenti di situ, dia juga menendang pinggang korban.
Aditya sempat membakar kartu tanda anggota (KTA) The Jakmania milik korban. Lalu dia kembali menendang Haringga empat kali. Mengaku terbawa suasana, Aditya membawa kayu dan memukul korban.
Penganiayaan juga dilakukan DF, yang masih di bawah umur. Dia turut menendang dua kali. Teman DF, Cepy juga melakukan yang sama. Sementara Joko, yang merupakan teman DF dan Cepy juga memukul wajah korban dua kali dan menendang tubuh korban dua kali.
Penganiayaan berakhir setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Saat ditemukan, pemuda atas nama Haringga Sirila (23) dalam kondisi babak belur, sebelum akhirnya meninggal dunia.
Advertisement
Norma Diabaikan
Sementara itu Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi menilai kekerasan kolektif di luar lapangan tidak terpisah dari rivalitas klub. Sejarah Persija-Persib, Persebaya-Arema, dan PSIS -PSIM adalah sejarah ketegangan dan vandalisme.
"Pertandingan antarklub dengan demikian menjadi medan konflik terbuka antarpendukung. Bermula dari fanatisme kemudian menjadi kebencian terhadap pihak lain," kata Sigit saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (28/8/2018).
Dalam situasi demikian, selalu muncul tindakan melampiaskan kebencian terhadap yang lain. Apalagi jika bertindak sebagai tuan rumah, fanatisme dan kebencian itu seakan butuh sasaran sebagai pesan bahwa di wilayahnya mereka sebagai penguasa.
"Dalam situasi demikian, norma sosial diabaikan, larut dalam emosi. Fans punya andil besar terhadap kebesaran klub. Maka klub harus melakukan pembinaan terhadap suporternya. Perlu manajemen mengelola suporter dan jika terjadi kerusuhan, klub yang diberi sanksi," uja Sigit.
Terkait fanatisme suporter, Psikolog Universitas Indonesia Ayu Pradani Sugiyanto Putri menilai sikap itu diawali dari kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok tertentu.
"Setiap manusia memang memiliki kebutuhan itu. Dan ketika seseorang ini merasa dirinya menjadi bagian dari kelompok, orang ini akhirnya mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari tim tersebut," jelas Ayu saat dihubungi oleh Liputan6.com, Selasa 25 September 2018.
Dia menjelaskan, ketika seseorang sudah mengidentifikasi diri sebagai bagian kelompok tertentu, orang itu akan merasakan adanya hubungan psikologis dengan komunitas tersebut.
"Yang membuat orang fanatik berlebihan yaitu ketika keterlibatan emosinya terlalu kuat. Merasa kelompok ini paling benar dan segala-galanya," lanjutnya.
Terkait sanksi yang diberikan pihak kepolisian dan PSSI, Ayu merasa setiap hukuman itu pasti akan memberi efek kepada para suporter. "Mereka jadi lebih berhati-hati," ujar Ayu.
Sebagai tindakan preventif dari fanatisme, Ayu berpendapat selain lingkungan yang menekankan bahwa perilaku itu tidak tepat, masing-masing individu juga harus melihat sudut pandang orang lain.
"Menghargai hak-hak orang lain, berempati terhadap orang lain," katanya lagi.
Dalam kasus pelaku dari anak-anak, dia berhaap orang tua dapat menjelaskan bahwa tindakan itu tidak tepat. Selain itu, Ayu juga mengimbau media agar menyampaikan informasi hukuman yang diterima pelaku.
"Hal ini juga sebenarnya memberikan pembelajaran untuk fans-fans fanatik agar tidak melakukan hal yang sama. Jadi kalau bisa media mem-blow up hukuman-hukuman yang diterima pelaku dan dampaknya terhadap klub sepak bola mereka," imbau Ayu.