Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu lanjutkan penguatan selama sepekan. Hal itu didukung aksi beli investor asing.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (29/9/2018), IHSG menguat 0,32 persen dari posisi 5.957 pada Jumat 21 September ke posisi 5.976 pada Jumat 28 September 2018.
IHSG menguat didorong aliran dana investor asing dan volatilitas saham berkurang. Saham kapitalisasi besar yang didorong saham LQ45 menguat 0,29 persen.
Aksi beli investor asing juga topang IHSG. Selama sepekan, investor asing beli saham USD 48 juta atau sekitar Rp 715,20 miliar (asumsi kurs Rp 14.900 per dolar AS).
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, pasar surat utang atau obligasi cenderung mendatar seiring Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun mencapai 8,2 persen. Hingga Kamis, investor asing beli obligasi USD 595 juta atau sekitar Rp 8,86 triliun.
Ada sejumlah faktor yang pengaruhi pasar keuangan termasuk IHSG. Dari eksternal, sentimen perang dagang masih membayangi pasar keuangan.
China membuka diskusi dengan negara lain untuk kurangi tarif di pasar saham. China juga mengambil langkah memangkas tarif impor pada banyak barang non impor AS. Hal ini sebuah langkah untuk melindungi pelanggan China terhadap konflik yang meningkat dengan pemerintahan AS di bawah pimpinan Donald Trump.
Produk yang berpengaruh terhadap pemangkasan tarif antara lain peralatan listrik, mesin, dan tekstil. Pemangkasan tarif akan dilakukan pada 1 November 2018.
Sentimen Lainnya
Pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve juga jadi perhatian pada pekan ini. Sesuai perkiraan, the Federal Reserve akhirnya menaikkan kembali suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 2 persen-2,5 persen pada pertemuan September 2018.
The Federal Reserve diharapkan menaikkan kembali lagi suku bunga acuan pada 2018. Kemudian kenaikan suku bunga the Federal Reserve sebanyak tiga kali pada 2019 dan satu kali pada 2020.
Meski demikian, bursa saham AS bereaksi negatif seiring investor menilai pernyataan Pimpinan The Federal Reserve, Jerome Powell dapat menaikkan suku bunga melampaui tingkat netral yang sudah diperkirakan.
Selain itu, the Federal Reserve juga prediksi produk domestik bruto (PDB) akan naik menjadi 3,1 persen pada 2018. Kemudian 2019, PDB akan menjadi 2,5 persen. Pada 2020, PDB tumbuh dua persen dan 1,8 persen pada 2021.
Di sisi lain, MSCI mengusulkan menaikkan batas atas nilai pasar bebas mengambang menjadi 20 persen dari lima persen untuk saham berdenominasi yuan. Hal itu akan terjadi dua tahap pada 2019. MSCI menanti reaksi investor pada pertengahan Februari dan akan umumkan keputusannya pada akhir Februari.
Dari sentimen internal, PT Inalum dan Freeport Mc-Moran menandatangani perjanjian penting terkait kesepakatan divestasi mayoritas saham Freeport kepada Indonesia.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,75 persen. BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin sejak April-Mei 2018.
BI juga meningkatkan bunga deposito dan fasilitas pinjaman menjadi 5 persen dan 6,5 persen. Keputusan ini untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan di tengah ketidakpastian global. Bank sentral juga menargetkan pertumbuhan ekonomi 5-5,4 persen pada 2018. Selanjutnya pada 2019 di kisaran 5,1 persen-5,5 persen.
BI tetap memantau indikator ekonomi mulai dari defisit transaksi berjalan, nilai tukar, stabilitas sistem keuangan dan inflasi. BI pun akan terapkan domestic non-deliverable forward (DNDF) untuk perkuat stabilitas rupiah sehingga percepat pendalaman pasar valas dan sediakan instrumen lindung nilai.
Bank lokal dan asing akan dapat kutip instrumen baru untuk klien dengan eksposur terhadap rupiah, baik dalam perdagangan, investasi dan saham.
Advertisement
BI Rilis DNDF
Bank Indonesia (BI) merilis aturan baru mengenai transaksi pasar Non-Deliverable Forward (DNDF) di dalam negeri atau Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Keluarnya aturan ini untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
NDF merupakan instrumen derivatif dari kontrak perdagangan mata uang berjangka. NDF merupakan kontrak membeli atau menjual valuta asing (valas) dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan kurs yang telah ditentukan di awal. Sedangkan Domestik NDF maka transaksi tersebut dilakukan di dalam negeri.
Ashmore melihat, langkah BI tersebut harapan untuk menciptakan kebutuhan lindung nilai lebih murah dan efisien. BI akan mampu memiliki pegangan lebih baik pada rupiah dan akhirnya menurunkan fluktuasi mata uang.
Ashmore menyebutkan, NDF saat ini hanya ada di offshore dan digunakan sejak 1990-an sebagai kontrak berjangka terutama saat fluktuasi lindung nilai tukar. Pembeli NDF kemudian akan selesaikan perbedaan antara harga kontrak dan mata uang yang berlaku pada jumlah yang disepakati.
Apa dampaknya terhadap saham dan obligasi?
NDF kemungkinan tidak akan selesaikan masalah jangka panjang dari defisit transaksi berjalan. Gerakan NDF terbukti di masa lalu untuk pengaruhi pergerakan saham Indonesia lebih dari faktor lain termasuk pertumbuhan laba, imbal hasil obligasi dan rupiah. Hal ini masuk akal mengingat penting bagi investor asing kalau imbal hasil rupiah tetap menarik.
Misalnya dalam lonjakan terbaru antara NDF satu tahun dan rupiah pada akhir Agustus-awal September. Ketika jarak mencapai Rp 1.300 per dolar AS, IHSG melemah kembali ke 5.898. Ketika jarak di level Rp 850-Rp 950, IHSG kembali ke level 5.900.
"Kami berharap pasar akan apresiasi pendalaman di pasar forex. Meski pun masih ada pertanyaan tentang seberapa jauh BI akan atur DNDF serta intervensi dan kemudahan penggunaan untuk spekulan. Langkah ini bukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di emerging market terutama mereka yang memiliki kepemilikan asing tinggi di obligasi,” tulis laporan Ashmore.
Saksikan video pilihan di bawah ini: