Liputan6.com, New Delhi - Gempa hanya terjadi sekitar 30 detik, namun kekuataannya menghancurkan kehidupan puluhan ribu warga di negara bagian Maharashtra, India. Kala itu, 30 September 1993, lindu dengan kekuatan 6,4 skala Richter di kedalaman 12 km meratakan 52 desa di Distrik Latur dan Osmanabad yang padat penduduk.
Bencana yang terjadi di tengah suka cita festival Ganesha tersebut menyebabkan 10 ribu orang tewas. Versi lain menyebut, korban jiwa mencapai 11 ribu hingga 22.000 jiwa.
Sebagian besar korban dalam kondisi tertidur saat lindu dahsyat mengguncang pada pukul 03.56 dini hari waktu setempat.
Baca Juga
Advertisement
Sama sekali tak ada peringatan bencana yang dikeluarkan. Banyak warga yang terluka, patah tulang, atau bahkan terkubur di bawah puing-puing dari dinding yang rubuh atau atap yang ambrol. Seperti dikutip dari India Today, di Killari, di mana lindu berpusat, kawah besar menganga.
Gempa tersebut adalah yang terparah yang mengguncang India sejak negara itu merdeka pada 1947.
"Saat saya mencapai lokasi gempa, tak ada apapun di sana selain kehancuran, kerusakan, puing-puing, awan debu, dan jasad-jasad manusia," kata Jagdish Patil, pejabat daerah yang mendatangi Killari pasca-gempa, seperti dikutip dari situs One India.
Patil mengaku, bencana yang ia saksikan di depan mata lebih dahsyat dari yang diduga. "Warga berkumpul, tak menyadari apa gerangan yang baru 'menyerang' mereka."
Warga yang selamat mengungsi ke ruang terbuka. Tinggal di tenda atau hanya beratap langit.
"Kami masih merasa takut. Bahkan mereka yang rumahnya masih tegak memilih tinggal di luar rumah saat malam," kata Shivraj Patel, seperti dikutip dari independent.co.uk.
"Tak ada yang bisa tidur. Kidung-kidung religi dilantunkan. Tak sedikit yang mengira, hari penghakiman sudah dekat."
Itu adalah saat-saat yang sangat tidak menyenangkan. Sumur-sumur kering. Di sisi lain, musim hujan mengguyur wilayah tersebut, memicu penderitaan ganda 18 ribu orang yang tak lagi punya tempat berteduh di Distrik Latur dan Osmanabad.
Gempa juga meretakkan kubah Tuljapur, kuil berusia 1.300 tahun yang didedikasikan untuk Devi, dewi ibu. Ada banyak ular yang tinggal di sana.
Namun, karena lindu terjadi dini hari, para pendeta sedang tertidur dan tidak sempat menyaksikan 'kegelisahan' yang dirasakan hewan-hewan melata itu. Konon, ular-ular itu memberikan pertanda sebelum Bumi berguncang.
Di tengah situasi buruk seperti itu, sejumlah penduduk meyakini takhayul, termasuk anjuran peramal agar tak tinggal di dalam rumah sebelum tanggal 21 Oktober -- bahkan di lokasi yang tak terdampak gempa sekalipun.
Ashok Potdar, seorang dokter, mengatakan bahwa getaran gempa susulan dirasakan di daerah itu mulai Oktober 1992 hingga Juni 1993.
"Penduduk setempat mendengar suara seperti ledakan. Suasana penuh ketakutan dirasakan warga. Tim ilmuwan dan ahli geologi telah mengunjungi tempat itu dan memberi tahu kami bahwa gempa bumi tidak mungkin terjadi, tetapi orang-orang meninggalkan rumah mereka dan memilih tinggal di tanah lapang, "kenangnya, seperti dikutip dari latestly.com. Sementara itu, sejumlah rumor berseliweran.
Penderitaan para korban gempa bumi di Maharashtra membuat banyak orang di India tersentuh. Di seluruh negeri, para pegawai menyisihkan pendapatannya. Penggalangan dana dilakukan sejumlah media. Sementara, organisasi perempuan mengumpulkan 29.000 lembar sari.
Di Inggris, penduduk India mengumpulkan lebih dari 1 juta poundsterling. "Saya tidak pernah melihat respon terhadap keadaan darurat yang seperti ini sebelumnya," kata Nand Lal, salah satu koordinator penggalangan dana. "Bencana menyentuh hati nurani banyak orang."
Bantuan pun mengalir deras. Jalan tanah yang sempit ke daerah terdampak tersumbat oleh ambulans, buldoser, truk berisi tentara hingga pekerja penyelamat sukarela, juga banyak pelancong yang penasaran ingin melihat.
Seorang perempuan yang ditarik hidup-hidup dari bawah puing, lima hari pasca-gempa, meninggal dunia saat ambulans yang membawanya terjebak dalam kemacetan lalu lintas.
Ada juga penjarah. Berpura-pura jadi relawan pencari korban, mereka mengambil barang-barang berharga yang tercecer. Sementara, bantuan dilaporkan tak disalurkan secara merata. Kasta para korban gempa mempengaruhi seberapa banyak bantuan yang bisa mereka dapatkan.
Saksikan video menarik soal gempa di bawah ini:
Kota Hantu
Bahkan 20 tahun pasca-gempa, pada 2013, sejumlah area di 52 desa yang rata dengan tanah menjelma jadi 'kota hantu'.
Di sana, puing-puing bangunan masih berserakan, ditutupi tanaman dan rumput liar. Bangsal dan koridor rusak di bekas sebuah pusat kesehatan menjadi saksi bisu ketika jasad-jasad manusia dibaringkan di sana laly dikremasi massal. Ruang-ruang kelas di sekolah yang sunyi dan tak terjamah selama setidaknya dua dekade.
Kenangan tentang gempa yang merenggut 10 ribu nyawa masih lekat di sana. "Hantu-hantu mungkin bergentayangan di desa-desa tua yang ditinggalkan," demikian seperti dikutip dari Indian Express. "Namun, bukan hantu yang ditakuti mereka yang menghuni permukiman di dekatnya, melainkan kekhawatiran peristiwa 1993 akan terulang."
Peringatan ke-25 gempa akan digelar hari ini.
Selain gempa yang menewaskan 10 ribu manusia lebih di India, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada 30 September.
Pada 30 September 2009, gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang Sumatera Barat dan daerah sekitarnya. Peristiwa itu disebut-sebut sebagai salah satu bencana alam dengan dampak yang cukup parah dalam sejarah Indonesia modern.
Episentrum gempa terletak di sekitar 50 km lepas pantai barat laut Sumatera dengan kedalaman berkisar 87 km dari permukaan, serta terdeteksi sekitar pukul 17.16 waktu setempat. Demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Sabtu (30/9/2017).
Gempa terasa di seluruh kawasan Sumatera, Jabodetabek, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Menurut data pemerintah daerah Sumatera Barat, peristiwa itu mengakibatkan 1.115 orang tewas dan 2.329 lainnya terluka, 279.000 bangunan mengalami kerusakan, serta berdampak pada 1.250.000 warga di kawasan.
Padang Pariaman menjadi kota dengan korban jiwa terbanyak (675), diikuti Kota Padang (313), Agam (80), dan Pariaman (37).
Advertisement