Liputan6.com, Guatemala City - Di balik kanopi raksasa, yang terbentuk dari cabang dan dedaunan yang saling bertautan, di hutan Guatemala, tersembunyi sebuah peradaban Suku Maya. Ada 61 struktur kuno yang ditemukan keberadaannya, dari pidamida besar, istana megah, hingga rumah-rumah yang ukurannya jauh lebih kecil.
Keberadaan struktur-struktur tersebut terkuak lewat survei udara. Tak hanya bangunan fisik, dari foto-foto yang dihasilkan juga terkuak praktik pertanian, infrastruktur, politik, dan ekonomi peradaban kuno yang pernah menghuni wilayah itu.
Baca Juga
Advertisement
Lebatnya hutan Guatemala membuatnya sulit ditembus. Rute untuk menuju ke sana juga sama sekali tak mudah dilewati. Penuh tantangan. Karena itulah, para ilmuwan memetakan wilayah tersebut dengan teknologi peraba jarak jauh optik dengan menggunakan laser atau light detection and ranging (Lidar).
Sejumlah gambar dihasilkan selama survei udara di dataran rendah Maya, sebuah wilayah yang luasnya mencakup 2.100 kilometer persegi.
"Karena teknologi Lidar mampu menembus kanopi hutan lebat dan memetakan fitur di permukaan Bumi, itu juga bisa digunakan untuk memproduksi peta daratan yang memungkinkan kami mengidentifikasi fitur buatan manusia di tanah, seperti dinding, jalan, atau bangunan," kata Marcello Canuto, direktur lembaga riset Middle American Research Institute di Tulane University, New Orleans, seperti dikutip dari situs sains LiveScince, Sabtu (29/9/2018).
Survei Lidar lewat udara itu mencakup 12 wilayah terpisah di Petén, Guatemala -- termasuk permukiman kota maupun desa Suku Maya.
Setelah menganalisis foto udara -- yang didalamnya mencakup sejumlah rumah yang terpencil, istana besar, pusat ritual, piramida -- para peneliti menyimpulkan bahwa hingga sekitar 11 juta orang tinggal di dataran rendah Maya selama periode Klasik akhir, sejak 650 hingga 800 Masehi.
Jumlah tersebut konsisten dengan perhitungan sebelumnya, yang digarisbawahi para peneliti dalam studi, dalam artikel yag diterbitkan di jurnal ilmiah Science pada Jumat 28 September 2018.
Tentu saja, menurut para peneliti, butuh upaya besar dalam hal pertanian untuk memelihara kelangsungan populasi sebesar itu. Maka, tak mengherankan saat survei Lidar menguak banyak lahan basah di daerah itu yang dimodifikasi sebagai lahan cocok tanam.
Secara keseluruhan, survei menguak keberadaan 362 kilometer persegi petak modifikasi dan 952 kilometer persegi lahan pertanian.
Selain itu, analisis lidar menemukan jaringan jalan sepanjang 110 kilometer persegi di dalam kota Maya tersebut, juga dengan daerah yang jauh jaraknya. Beberapa bahkan diperkuat dengan batu.
Temuan tersebut mengindikasikan hubungan atau jalinan antara pedalaman Maya dan pusat kota.
"Jika dilihat secara keseluruhan, petak, saluran irigasi, waduk, benteng, dan dan mengungkapkan sejumlah besar modifikasi lahan yang dilakukan oleh Suku Maya atas seluruh silayah mereka pada skala yang sebelumnya tidak terbayangkan," kata Francisco Estrada-Belli, asisten profesor riset antropologi di Tulane University sekaligus direktur Proyek Arkeologi Holmul (Holmul Archaeological Project), dalam sebuah pernyataan.
Meski survei Lidar mengungkapkan begitu banyak struktur yang tidak diketahui sebelumnya, para peneliti hanya menganggapnya sebagai 'pelengkap' temuan arkeologi.
Dalam sebuah artikel perspektif tentang penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal yang sama, Anabel Ford, seorang profesor arkeologi di University of California, Santa Barbara, dan Sherman Horn, seorang profesor arkeologi tamu di Grand Valley State University di Michigan, berpendapat, survei udara tak akan cukup.
Bahkan dengan Lidar, kata mereka, sepatu bot yang menapak tanah tetap dibutuhkan. Tanpa riset lapangan, misteri temuan peradaban Suku Maya yang dihasilan foto udara tak akan terungkap tuntas.
Temuan yang Berawal dari Ramalan Kiamat
Sebelumnya, pada 2016, bocah 15 tahun bernama William Gadoury berhasil menguak misteri yang tersembunyi di hutan belantara di Amerika Tengah: sebuah kota kuno yang terlupakan milik peradaban Maya.
William mendapatkan temuannya tersebut dengan cara cerdas, mengombinasikan pengetahuan astronomi kuno yang didapatnya dari membaca dan teknologi modern.
Bocah cerdas tersebut menganalisis 22 rasi bintang Maya dalam Madrid Codex atau Tro-Cortesianus Codex.
Itu adalah satu-satunya buku yang bertahan dari zaman pra-Kolumbia Maya tahun 900-1521 Masehi.
Dari buku itu, ia menyadari bahwa Suku Maya menyetarakan 117 kota-kota mereka dengan posisi bintang-bintang di angkasa.
Namun, saat meneliti rasi nomor 23, William menyadari bahwa konstelasi yang terdiri dari 3 bintang itu hanya selaras dengan lokasi dua kota.
Ada satu bintang yang tak memiliki kota sebagai pasangannya.
Kemudian, dengan menggunakan citra satelit dari Badan Antariksa Kanada atau Canadian Space Agency dan Google Earth, William menfokuskan perhatiannya pada satu titik di tengah hutan lebat Yukatan.
Ada penampakan misterius di sana yang diduga struktur buatan manusia. Diperkirakan ada sebuah piramida dan sekitar 30 bangunan lain yang ada di sana.
Jika teorinya benar dan kalkulasinya tepat, William mungkin menemukan kota kuno Maya yang hilang di Semenanjung Yukatan, Meksiko.
Ini adalah kali pertama seorang peneliti mengaitkan secara langsung konstelasi bintang dengan lokasi kota peradaban Maya. Demikian dikabarkan Journal de Montreal.
"Ada fitur linear yang memberi petunjuk bahwa ada sesuatu di balik kanopi pepohonan itu," kata Daniel de Lisle dari Canadian Space Agency kepada The Independent, seperti dikutip dari News.com.au, Selasa (10/5/2016).
"Ada sejumlah hal yang menunjukkan bahwa itu bisa jadi adalah struktur buatan manusia."
William menamakan kota temuannya sebagai K’aak Chi atau Mouth of Fire.
Kota itu diduga adalah satu dari lima kota Maya terbesar yang terdokumentasi dalam sejarah.
Penemuan yang dihasilkan bocah tersebut menuai pujian dari badan antariksa Kanada, Jepang, juga NASA. Ia juga dianggap pahlawan di kotanya, Quebec.
Sejak belia, William Gadoury terobsesi dengan peradaban Maya. Gairahnya berawal dari rasa penasaran saat membaca ramalan kiamat 2012.
Dunia sempat dibuat heboh jelang 21 Desember 2012 -- yang dianggap sebagai 'kiamat menurut bangsa Maya'.
Tanggal tersebut konon sesuai dengan kalender hitung panjang Suku Maya (Long Count), sebuah sistem yang sangat kompleks yang mencakup periode sekitar 5.200 tahun.
Advertisement