Perkembangan Batik di Indonesia Tak Lepas dari Sejarah Penyebaran Islam

Perkembangan batik di Indonesia juga memiliki kaitan dengan kerajaan Majapahit dan juga penyebaran Islam di Indonesia

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 02 Okt 2018, 12:00 WIB
Pesona Solo Batik Carnival yang menyajikan berbagai kreasi kostum batik di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Solo, Sabtu (14/7).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Jakarta Sejarah batik di Indonesia memiliki kaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran Islam di tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Sudah dikenal sejak zaman Majapahit dan terus berkembang hingga ke masa-masa berikutnya, batik juga terkait dengan penyebaran agama Islam. Banyak daerah-daerah pusat batik di Jawa adalah daaerah-daerah santri. Kemudian, batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Mengutip laman Pemerintah Provinsi Jawa Barat, jabarprov.go.id pada Selasa (2/10/2018), di daerah Ponorogo, Jawa Timur misalnya, disebutkan sejarah seni batik di sini erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan- kerajaan dahulu.

Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan kerajaan Majapahit bernama Raden Katong yang merupakan adik Raden Patah. Batoro Kating inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang, adalah sebuah masjid di daerah Patihan Wetan.

Selanjutnya, di Tegalsari, ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Tidak hanya mengajarkan agama Islam, pesantren ini juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, perang, dan sastra. Salah seorang murid yang terkenal di bidang sastra adalah Raden Ronggowarsiot. Sementara itu, Kyai Hasan Basri diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Simak juga video menarik berikut ini: 


Dari Keraton Solo ke Ponorogo

Seorang ibu membuat batik tulis di Kampung Batik Puswasedar kawasan Geopark Ciletuh, Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (22/9). Lebih dari 50 perempuan menekuni pembuatan batik tulis maupun cetak. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Saat itu, seni batik terbatas dalam lingkungan Kraton. Putri Keraton Solo yang menjadi istri Kyai Hasan Basri dibawa ke Tegalsari bersama para pengiringnya. Banyak pula keluarga keraton yang belajar di pesantren ini.

Peristiwa ini membawa seni batik keluar dari Keraton menuju ke Ponorogo. Para pemuda-pemudi yang dididik di tempat ini, dalam masyarakat nantinya juga menyumbangkan ilmu dalam seni batiknya di bidang-bidang kepamongan dan agama.

Beberapa daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang antara lain daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut.

Waktu itu obat-obatan yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih impor baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya