Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batu bara acuan (HBA) pada Oktober 2018 sebesar USD 100,89 per ton. Harga ini turun dibandingkan September 2018.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, HBA bulan ini turun 3,7 persen, dibandingkan HBA September yang berada di level USD 104,81 per ton.
Advertisement
"HBA Oktober ditetapkan USD 100,89 per ton, atau 3,7 persen lebih rendah dari September 2018," kata Agung di Jakarta, Selasa (2/10/2018).
Penyebab turunnya HBA karena stok batu bara yang berlebih di pasar. Meski turun, harga batu bara masih lebih tinggi di Oktober, ketimbang HBA pada awal 2018. "Stok di pasar global melebihi permintaan pada September," ujarnya.
Pada September 2018, HBA juga turun dari bulan sebelumnya sebesar USD 3,02 dari HBA Agustus 2018 sebesar USD 107,83 per ton.
Sementara itu, salah satu penyebab HBA September 2018 lebih rendah dari pada bulan sebelumnya dipengaruhi kebijakan proteksi impor Tiongkok.
"Sebagai salah satu konsumen terbesar batu bara, tentu kebijakan ini berpengaruh terhadap penurunan HBA di bulan September," tandas Agung.
Formula HBA ditetapkan Kementerian ESDM berdasarkan index pasar internasional. Ada empat indeks yang dipakai, yakni Indonesia Coal Index (ICI), New Castle Global Coal (GC), New Castle Export Index (NEX), dan Platts59. Adapun bobot masing-masing index sebesar 25 persen dalam formula HBA.
* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.
Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.
PLTA Batang Toru Mampu Kurangi Emisi Karbon
PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga air (PLTA) Batang Toru, Sumatera Utara, mengingat pentingnya proyek ini dalam pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Perseroan ingin menjadikan PLTA Batang Toru sebagai contoh bagi pengembangan pembangkit listrik yang berkonsep pelestarian lingkungan.
Senior Advisor NSHE Agus Djoko Ismanto mengatakan, pembangunan PLTA ini merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam mengatasi isu perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan upaya pemerintah RI dalam meratifikasi Kesepakatan Paris melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
"Contoh sederhananya, ketika terjadi perubahan musim maka (siklus) pembungaan berubah. Serangga tidak siap, dan efeknya akan terus berkembang. Ketika tidak ada pembungaan tidak ada makanan, itu persoalan global," ujar dia di Graha Niaga, Jakarta, Jumat (28/9/2018).
Baca Juga
Selain mengatasi perubahan iklim, dia melanjutkan, Indonesia pada beberapa tahun mendatang akan berhadapan dengan krisis listrik.
"Pemanfaatan listrik di masyarakat kita terus berkembang. Artinya kebutuhan listrik bukan linear lagi, tapi dengan grafik yang sangat cepat. Artinya, membangun PLTA akan menjawab persoalan tadi," imbau dia.
Total lahan yang digunakan untuk tapak struktur bangunan PLTA Batang Toru sebesar 121 hektare (ha), dengan rincian luas bangunan 55 ha dan area genangan 66 ha. Luas lahan yang dipergunakan tersebut hanya 0,07 persen dari keseluruhan kawasan ekosistem Batang Toru yang mencapai 163 ribu ha.
Dia juga mengungkapkan, PLTA Batang Toru merupakan PLTA pertama yang menggunakan equator principles, yaitu manajemen risiko yang mencakup dampak sosial lingkungan dengan standar internasional di samping menjalankan Amdal.
Dengan dibangunnya PLTA Batang Toru, Agus menyatakan, akan mampu ikut berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon atau efek gas rumah kaca sebanyak 1,6 juta metrik ton.
"Hal ini kami lakukan supaya keberadaan proyek PLTA Batang Toru benar-benar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, termasuk kehidupan masyarakat sekitar dan orangutan. Lokasi PLTA Batang Toru sebenarnya berada dalam area penggunaan lain dan bukan hutan," tutur Agus.
Advertisement