Liputan6.com, Jakarta Emira Widari Saleh, 66 tahun, mengisi hari tua dengan menjadi perajin batik. Kegiatan ini dilakoni Emira beberapa bulan sebelum United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia pada 2 Oktober 2009.
"Waktu Hari Batik Nasional pertama kali, saya sudah pakai batik bikinan sendiri," kata Emira saat berbincang dengan Liputan6.com di kediamannya kawasan Tebet, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Advertisement
Sebenarnya, bertamu ke rumah Emi di pertengahan Agustus bukan untuk membicarakan hobinya yang suka membatik dan bermain gamelan. Melainkan untuk mendengarkan langsung cerita ibu dari tiga orang anak yang pernah ditunjuk menjadi seorang anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di era Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1967.
Sebab, Emira dan teman-teman menjadi tim pengibar angkatan pertama yang dijuluki sebagai Paskibraka, tapi mengenakan pakaian Pramuka. Pada tahun itu juga bendera pusaka yang asli dikibarkan sebelum diganti dengan bendera duplikat.
"Sehabis G30S/PKI ada jeda satu tahun. Nah, di tahun ini untuk pertama kali Presiden Soeharto memimpin sebagai inspektur upacara, dan terakhir kali bendera asli (pusaka) dikibarkan," tutur Emira.
Perbincangan dilakukan di ruang tengah. Di daerah pemberhentian para tamu ini, terlihat seperangkat alat membatik yang terdiri dari wajan dan kompor kecil, canting, kursi kecil, dan gawangan yang diletakkan Emira di sebelah kiri sofa.
Di atas gawangan, terbentang kain mori yang nyaris penuh dengan motif hasil kerajinan tangan dia sendiri. "Sedikit lagi masuk proses pencelupan."
Setelah tidak lagi bekerja, Ema menghabiskan hari-hari sebagai nenek yang sibuk menjaga dan bermain dengan cucu tersayang. Namun, di sela-sela menjadi 'baby sitter' buah hati anak-anaknya, dia tidak lupa menyalurkan hobi.
Bermain gamelan adalah hobi pertama wanita yang pernah menjabat sebagai Majelis Pembimbing Pramuka di Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat. Satu kelompok berisi teman-teman Emira di sekolah dasar (SD) dulu.
"Kebetulan di sanggar tempat kami latihan ada kegiatan bikin batik. Setelah itu, mulai coba-coba membatik," ujar istri Ruchyat Tjakrawiralaksana.
Gamelan, kata Ema, merupakan kegiatan yang menyenangkan. Setiap kali memainkan lagu apa saja, yang timbul selalu perasaan gembira. Bermain sambil tertawa pun tak jadi soal.
Berbeda dengan membuat batik. Ema, mengatakan, aktivitas ini masuk kategori menenangkan. Di balik itu, psikologis para pengrajinnya juga diuji.
"Selama lagi melukis, kita tidak boleh berpikiran jelek. Saya sendiri merasakan, setiap berpikiran jelek, pasti cairan di cantingan yang saya pegang akan menetes, membentuk pola tak beraturan," kata Ema.
Apalagi saat masuk proses mewarnai. Hati dan pikiran harus benar-benar tenang, tidak boleh gagal fokus.
Ia sendiri tipikal pengrajin batik yang sulit membedakan warna hitam dan hijau tua. Kalau di saat pewarnaan hati dalam keadaan gundah gulana, warna hitam bisa jadi biru tua, bahkan pernah menjadi agak cokelat.
"Pernah kejadian seperti itu. Akhirnya, tetesan yang jatuh tak beraturan tersebut, pelan-pelan saya teruskan menjadi motif kupu-kupu," katanya.
Baca Juga
Cerita Menjadi Paskibraka Angkatan Pertama
Sebelum bercakap-cakap mengenai hobi satu itu, Ema bercerita banyak soal keterlibatan dia pada upacara 17 Agustus 1967 di Istana Negara.
Menurut dia, pengalaman berharga tersebut tidak direncanakan sama sekali. Tidak pernah ada di bayangan dia bahwa anggota Pramuka bisa mengibarkan bendera merah putih yang ditonton langsung oleh orang nomor satu negeri ini.
Adalah Husein Mutahar, sang penghasil momen-momen indah sulit dilupakan oleh Emira dan teman-teman yang lain.
Bila sekarang syarat menjadi Paskibraka harus siswa teladan, tak berlaku pada zaman itu. Semua yang terlibat merupakan siswa dan siswi cabutan dari kelompok Pramuka yang ditunjuk Mutahar.
"Kebanyakan yang diambil adalah anggota gugus depan (kelompok Pramuka) dia," katanya.
Emira kala itu masih berusia 15. Sementara anggota yang lain, sudah berstatus pelajar SMA, mahasiswa, bahkan ada yang sudah pembina. Yang ia ingat, dua anggota di bawah umur hanya dia dan teman satu sekolahnya, Iin Winarti, yang terpilih sebagai pembawa baki.
"Yang saya ingat, waktu itu yang diambil-ambil dari Gambir 13 dan Gambir 14," kata Ema. Gambir adalah nama gugus depan. Sementara angka 13 dan 14 merupakan jumlah dari anggota putra dan putri. "Kalau tidak salah, ya. Agak-agak lupa soalnya," kata Ema menekankan.
Status masih penggalang. Lama latihan baris berbaris pun sekitar dua minggu saja, tidak lebih. Tantangan berikut yang ia hadapi, pada tahun itu untuk pertama kali juga dirancang sekaligus diterapkan formasi 17, 8, dan 45.
"Tadinya cuma barisan biasa, pakai putih-putih. Karena zaman saya mendadak, jadi pakai baju Pramuka," katanya.
Advertisement
Bertugas Memakai Pakaian Pramuka
Menurutnya, berdasarkan sisa-sisa memori yang menempel di kepala, tentara yang akan bertugas pun masih pakai pakaian loreng plus bersenjata lengkap.
Karena tahun itu untuk pertama kali diterapkan formasi barisan, alhasil ia dan teman-teman harus menyamakan langkah tegap dengan anggota empat matera yang terdiri dari baret merah, baret oranye (TNI AU), baret ungu (Marinir), dan Brimob.
"Saya pun baru tahu kalau langkah per menit masing-masing elemen itu berbeda-beda. Paling cepat itu baret merah. Mereka harus menyamakan langkahnya dengan kita. Mula-mula maunya cepat saja. Setelah Kak Mutahar marah, derap langkah ditentukan untuk disamakan. Sulit deh," kata dia.
Latihan selama dua pekan dilakukan di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Setiap hari, calon Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana Negara tersebut harus berkumpul di Gambir atau Kuarnas, untuk kemudian bersama-sama menuju tempat latihan naik bus jemputan.
"Di sela-sela istirahat latihan merasa panas, kami semua berteduh di roda truk," kata dia sembari tertawa.
Sekarang semuanya serba enak. Calon anggota Paskibraka yang lolos sampai ke tingkat nasional, disediakan semua akomodasi. Dari tempat penginapan, sampai transportasi guna mengantar mereka latihan atau gladi kotor dan bersih di Istana Negara jelang hari H.
"Waktu saya mau latihan di Istana, diantar mobil rumah," ujarnya.
Juru Kunci
Jika Iin ditunjuk sebagai pembawa baki, Emira dipercaya Mutahar mengemban tugas sebagai pembawa baki cadangan. Selain itu, ia adalah juru kunci dari tempat bendera pusaka diambil untuk dikibarkan dan ditaruh kembali setelah dikibarkan.
Sebenarnya, pada tahun itu sudah ada omongan bakal menggunakan bendera duplikat. Hanya saja, Sang Saka Merah Putih masih dalam proses pengerjaan sehingga harus pakai yang asli.
Menurut dia, bendera yang asli benar-benar tidak layak untuk dikibarkan. Sudah rombeng dan baunya pun tercium aroma kayu cendana. Namun, mau bagaimana lagi? Toh setelah dipikir-pikir sekarang, yang terjadi pada hari itu menjadi tonggak sejarah untuk tahun-tahun berikutnya.
Sampai sekarang, bendera yang asli tersimpan rapi di ruang rahasia yang terdapat di Istana Negara. Setiap anggota Paskibraka yang akan bertugas, dibawa masuk untuk melihat langsung bendera asli tersebut.
Advertisement