Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara menyatakan tidak akan meninggalkan program senjata nuklirnya sebagai pertukaran bagi pernyataan resmi berakhirnya Perang Korea.
Perang tiga tahun yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat berakhir pada tahun 1953 dengan gencatan senjata, bukannya perjanjian perdamaian. Ini membuat kedua pihak secara teknis masih dalam keadaan berperang.
Baca Juga
Advertisement
Gagasan mengenai perjanjian perdamaian resmi telah dikemukakan dalam serangkaian langkah diplomatik belakangan ini antara Pyongyang, Seoul dan Washington, yang bertujuan untuk mendenuklirisasi Semenanjung Korea.
Tetapi, Amerika telah menolak permintaan Korea Utara mengenai deklarasi resmi berakhirnya perang sebelum rezim Pyongyang meninggalkan program senjata nuklir sepenuhnya.
Dalam komentar yang dilansir kantor berita resminya, pada 2 Oktober 2018, Korea Utara menolak gagasan kesepakatan semacam itu.
"Perjanjian perdamaian resmi bukanlah hadiah dari satu orang ke orang lainnya," demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (3/10/2018).
"Masalah tersebut tidak akan pernah dapat dijadikan alat tawar menawar untuk membuat Korea Utara melakukan denuklirisasi," lanjut keterangan itu.
Dalam pidatonya di PBB pekan lalu, Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong Ho mengatakan negaranya tidak akan melucuti senjata secara sepihak selama Amerika terus memberlakukan sanksi-sanksi yang sangat keras terhadap rezim Pyongyang.
Simak video pilihan berikut:
Korea Utara: Tak Akan Ada Denuklirisasi Jika...
Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong-ho memperingatkan komunitas global, bahwa negaranya tidak akan melucuti senjata nuklir (denuklirisasi) jika sanksi AS terus dijalankan.
Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Ri Yong-ho saat berpidato di salah satu agenda Sidang Umum PBB di New York, Sabtu 29 September. Ia menambahkan bahwa sanksi tersebut memperdalam ketidakpercayaan Korea Utara terhadap AS.
Dikutip dari BBC pada Minggu 30 September 2018, Pyongyang telah berulang kali meminta pencabutan sanksi PBB dan AS, di mana hal itu mendapat dukungan besar dari Rusia dan China.
Tetapi Gedung Putih mengatakan bahwa sanksi harus tetap berlaku sampai Korea Utaramelakukan denuklirisasi penuh.
Menanggapi sikap AS, Menlu Ri mengatakan bahwa kebuntuan denuklirisasi disebabkan karena Negeri Paman Sam bergantung pada langkah-langkah koersif --salah satunya sanksi-- yang mematikan untuk membangun kepercayaan.
"Tanpa kepercayaan di AS, tidak akan ada kepercayaan pada keamanan nasional kami dan dalam keadaan seperti itu, tidak ada cara kami akan secara sepihak melucuti diri terlebih dahulu," tegas Menlu Ri.
"Persepsi bahwa sanksi dapat membawa kami berlutut adalah mimpi dari orang-orang yang tidak peduli tentang kami," tambahnya.
Advertisement