Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bencana alam yang terjadi tidak akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2018.
"Kalau kita lihat di dalam konteks pertumbuhan ekonomi, kita harapkan tidak akan terlalu banyak mempengaruhi," ujar dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Dia menuturkan, hal ini karena kontribusi dua provinsi yang tengah dilanda bencana seperti Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB) terhadap GDP nasional tidak terlalu besar.
Baca Juga
Advertisement
"Tentu karena kita lihat dari sisi kontribusinya terhadap keseluruhan GDP kita, kebetulan untuk Sulawesi Tengah dan NTB itu tidak sangat signifikan," kata dia.
Namun demikian, Sri Mulyani berharap proses rehabilitasi terhadap daerah-daerah yang terkena bencana bisa segera dilakukan. Dengan demikian, kegiatan ekonomi bisa segera pulih dan bisa kembali berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
"Dan kita tentu juga berharap proses dalam rehabilitasi dan rekonstruksinya bisa menimbulkan dan mengembalikan tingkat aktivitas ekonomi di kedua daerah tersebut, juga akan positif terhadap ekonomi kita," ujar dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Pertumbuhan Ekonomi RI di 2018 Bakal di Bawah Asumsi APBN 2018
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun nanti akan berada di bawah level 5,2 persen. Angka ini lebih rendah dari asumsi dasar pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Modal (APBN) 2018 yang diperkirakan sebesar 5,4 persen.
"Jadi kan begini diperkirakan antara 5 sampe 5,4 persen tahun ini. Kemungkinan akan sedikit di bawah 5,2 persen seperti itu," kata Perry saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat 28 September 2018.
Perry mengatakan, berdasarkan beberapa metode pengukuran, sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,6 persen atau bahkan 6 persen hingga akhir tahun.
"Tergantung metodenya, kalau seperti filtering segala macem itu kurang lebih potensial outputkita 5,6 persen. Tapi kalau berdasarkan production function bisa sampai 6 persen. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi 5,2 itu masih dibawah pertumbuhan yang potensialnya," jelas Perry.
Perry menilai, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari potensinya tersebut, menjadi penyebab rendahya indeks harga konsumen (IHK). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada minggu keempat September 2018 telah terjadi deflasi sebesar 0,06 persen secara month to month (mtm). Sedangkan secara secara year on year (yoy) mencapai 3,02 persen.
"Itu kenapa meski permintaan naik, tapi kapasitas produksinya itu mencukupi sehingga kenaikan permintaan tidak timbulkan tekanan pada harga-harga," pungkas Perry.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement