Kronologi Tertembaknya Ade Irma Nasution Versi Bekas Prajurit Cakrabirawa

Tembakan gagang kunci inilah malapetaka untuk Ade Irma Nasution. Satu peluru dari senapan prajurit Cakrabirawa meleset dan mengenai punggungnya

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 04 Okt 2018, 01:02 WIB
Sulemi bersumpah prajurit Cakrabirawa tak sengaja menembak Ade Irma Nasution. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purwokerto - Perawakannya kurus tinggi. Di usianya yang ke 77 tahun, bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi, tampak masih trengginas. Di hadapannya, sebungkus kretek dan segelas kopi kental menemani obrolan kami sore itu.

Pada mulanya, mantan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini tampak biasa dan rileks. Namun, ketika mulai bercerita peristiwa 1 Oktober 65, ia tampak muram.

Sebelum bercerita, pria kelahiran 1940 ini bersumpah bahwa dia akan menceritakan sebenar-benarnya peristiwa malam 1 Oktober yang kelak mengubah nasibnya dari prajurit terhormat menjadi pesakitan, termasuk kronologi tertembaknya Ade Irma Nasution.

Ia berkisah, Rabu, 29 September 1965, ia dikumpulkan komandan kompinya, Letnan Satu Dul Airif, dan menginformasikan bahwa Presiden Soekarno terancam oleh kelompok Dewan Jenderal.

Dewan Jenderal akan menggulingkan Presiden Soekarno pada 5 Oktober 1965, yang berarti kurang dari sepekan. Maka, Komandan mereka di Batalion 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung, memutuskan untuk bertindak dan menghadapkan anggota Dewan Jenderal kepada Presiden Sukarno.

"Ada instruksi Komandan Batalion, yakni Letkol Untung ya. Yang mengatakan bahwa mulai tanggal itu juga, untuk Batalion 1 Kawal Kehormatan itu, situasi konsinyir berat, untuk menghadapi nanti pada tanggal 5 Oktober akan terjadi kudeta, dari para perwira-perwira Angkatan Darat," dia menerangkan kepada Liputan6.com akhir 2017 lalu.

Sulemi adalah seorang prajurit yang ditugaskan mengawal keselamatan Presiden Sukarno. Maka, ia pun menyimpukan bahwa keselamatan Sukarno terancam. Dan itu adalah tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi Sukarno.

Lantas, tiba tanggal 1 Oktober dini hari. Sulemi tergabung menjadi salah satu anggota pasukan yang bertugas menjemput para jenderal. Perintahnya saat itu jelas, jemput hidup atau mati. Sulemi, bersama sekitar 35 kawan dari lintas kesatuan bertugas menjemput Jenderal Nasution.

Lantaran informasi yang keliru, pasukan Cakrabirawa itu sempat salah sasaran. Mereka masuk ke rumah menteri JE Leimana yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Nasution.


Dini hari di Rumah Nasution

Lantaran terlibat penculikan Jenderal Nasution, bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi, meringkuk di penjara selama 15 tahun. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sulemi menggambarkan, malam itu suasana amat tegang ketika pletonnya tiba di kediaman Nasution. Namun, semuanya berjalan lancar. Tiba di gerbang utama, mereka diantar oleh satu pleton penjaga kediaman Nasution yang berasal dari Kostrad. Mereka diantar ke dalam rumah.

Di pintu utama, pintu tak terkunci. Namun, ketika masuk, 10 anggota penjemput tak menemukan Nasution. Mereka pun lantas mencarinya di beberapa kamar. Dari salah satu kamar, Nasution tiba-tiba membuka pintu.

Namun, melihat ada tiga prajurit Cakrabirawa di depan pintu, Nasution kembali mengunci pintu. Sulemi lantas meminta agar pintunya dibuka. Namun, tak ada jawaban.

"Mungkin sudah curiga, kalau melihat Cakrabirawa," kata Sulemi, saat ditemui di rumahnya di Purbalingga.

Sebagai prajurit, Sulemi perintahnya adalah menjemput hidup atau mati. Dua anggota pasukan, Kopral Sumarjo dan Hargiono, membuka paksa kunci besi dengan rentetan senjata sten atau senapan serbu.

Senjata menyalak. Pintu pun terbuka, tetapi Nasution sudah tak ada di kamarnya.

Sementara, Sulemi mendengar ada suara rentetan tembakan senjata serbu dari luar rumah. Nasution kabur melompat pagar. Ia tak bisa memastikan siapa yang menembak di luar rumah kala itu.

Namun, ia bisa memastikan bahwa pemegang senjata bren adalah Kopral Sarjo. Meski demikian, mereka tak mengejarnya. Sebab, perintah mereka adalah menjemput tanpa menganggu tetangga sekitarnya.

Di dalam rumah, suasana semakin tegang. Di dalam kamar, Sulemi sempat melihat istri Nasution berjalan bolak-balik dengan gelisah sembari menggendong Ade Irma.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa Ade Irma tertembak. Noda darah yang selintas dilihatnya dikira hanya luka goresan. Ade Irma pun ternyata anak yang benar-benar tabah.


Tembakan ke Gagang Kunci Meleset ke Punggung Ade Irma

Sulemi dan istri kini adalah sepasang kakek-nenek yang berbahagia dikelilingi anak, cucu dan saudara yang mencintainya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Saat itu, Sulemi baru mendengar, ada seorang anak menangis. Namun, ia tak berpikir bahwa anak itu, Ade Irma Nasution, tertembak kala Sumarjo dan Hargiono menembak gagang pintu.

"Saat itu tidak menangis. Baru setelah saya keluar, ada suara tangisan anak kecil. Tapi saya kira itu tangisan karena takut," dia menerangkan.

Tembakan gagang kunci inilah malapetaka untuk Ade Irma Nasution. Rupanya, satu peluru dari senapan prajurit Cakrabirawa meleset dari gagang kunci dan mengenai punggung bocah berusia 5 tahun yang tengah digendong ibunya.

Ia bersumpah, tembakan yang mengenai punggung Ade Irma Nasution adalah pantulan dari peluru yang ditembakkan ke gagang kunci. Sama sekali tak ada unsur kesengajaan menembak anak kecil tak berdosa.

Belakangan, cerita tertembaknya Ade Irma diramatisir menjadi salah satu bukti kekejaman Cakrabirawa. Ia muncul dalam film dan narasi-narasi sejarah.

Cakrabirawa digambarkan sebagai pasukan yang kejam dan tak memiliki hati. Padahal, saat itu Cakrabirawa hanya berniat menjemput Nasution dan tak berniat sedikit pun mencelakai Ade Irma yang kala itu baru berusia 5 tahun.

"Edan apa. Buat apa, anak tidak ada sangkut pautnya. Itu yang sangat luar biasa fitnahnya. Wong saat di dalam itu, dia kena peluru itu saya juga tidak tahu. Setelah saya sampai di luar rumah itu, mendengar dia menangis," dia mengungkapkan.

Akibat terlibat penculikan dan dianggap terlibat G30S PKI, Sulemi divonis mati. Belakangan, vonisnya diringankan di tingkat banding menjadi penjara seumur hidup. Akan tetapi, penyiksaan di luar perikemanusiaan mesti ditanggungnya selama dalam tahanan.

Senasib dengan Sulemi, dua orang penembak kunci pintu juga divonis berat. Hargiono dihukum mati, sementara Sumarjo dihukum seumur hidup.

Sulemi bebas pada tahun 1980, usai ada tekanan lembaga HAM internasional. Saat itulah ia baru tahu, Ade Irma Nasution, tertembak dan meninggal dunia beberapa hari kemudian.

"Saya baru mengetahui Ade Irma tertembak itu, kan, di luar," dia menambahkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya