Menjaga Tradisi Lengger Banyumas dalam Kesederhanaan

Namanya Agus Widodo. Anak pasangan Hadisusilo dan Sainah ini justru luwes dan gemulai membawakan lengger Banyumasan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 05 Okt 2018, 09:01 WIB
Agus Widodo alias Agnes saat tampil di Kendalisada Art Festival 2018. (Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Banyumas - Nama aslinya Agus Widodo. Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Hadisusilo dan Sainah ini justru luwes dan gemulai membawakan lengger banyumasan. Dalam tubuh seorang laki-laki, ia berkelana menjelajahi feminitas sejak masih kecil.

Siang itu cuaca perbukitan di ujung selatan Kabupaten Banyumas cerah. Embusan angin meneduhkan hati setiap penduduk Desa Binangun. Rindangnya pohon di sepanjang jalan menambah suasana desa yang asri.

Di satu pojok jalan itu, Agus tinggal bersama kedua orang tuanya. Pria kelahiran 14 Agustus 1987 ini adalah seorang penari lengger yang terkenal di kota asalnya tersebut.

Ibu Sainah menceritakan, awal mula ketertarikan putranya terhadap kesenian tari lengger sejak masih balita. Saat itu, Agus yang disapa Dodo sehari-harinya diajak sang kakek untuk menemaninya menghadiri pertunjukan kesenian wayang.

Kakek Agus merupakan pengrawit calung banyumasan, sehingga tidak heran bila darah seni mengalir dalam diri sang cucu. Pada hajatan tersebut, Dodo terpukau dengan gemulainya penari lengger yang menjadi pengisi acara kesenian itu.

Sejak saat itu Dodo pun mulai nekat untuk mencuri waktu untuk kabur mengikuti rombongan lengger pentas dari dusun ke dusun. Ia pun akhirnya sering menari dan meniru gerakan penari lengger tersebut.

"Sejak kecil, tangannya suka bergerak menirukan lengger. Padahal, kakaknya tidak begitu," kata Sainah saat berbincang dengan Liputan6.com, 15 September 2018.

Selain menari, Dodo pun menyukai hal-hal yang feminin. Misalnya saja membantu tetangganya yang mempunyai usaha rias, sehingga tidak heran ia sering disebut sebagai banci.

"Saya yang agak minder awalnya dia bisa seperti ini. Tapi setelah berjalannya waktu, dia semakin sering mendapatkan tawaran untuk pentas ke kampung-kampung. Sejak dari SMP bahkan dia tidak minta uang pada orang tua," tutur Sainah.

Dodo mengakui dirinya menolak permintaan ayahnya untuk bersekolah di STM. Lulus dari bangku SMP, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) Banyumas.

"Kalau aku belajar kesenian tari itu sudah dari kelas 3 SD, sekitar tahun 1998. Lalu waktu di SMKI, aku ngambil uji tari cewek," kata Dodo.

Dodo menyebut pertama kali ia membawakan tari dengan iringan calung ketika tampil di sebuah acara perpisahan KKN mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto pada 2003.

"Itu pertama kali bawakan tari nasional. Narasumber di acara itu mengacungkan jempol karena masih ada yang mengangkat kesenian lokal," kenangnya.

Saat bersekolah di SMKI, Agus mengenal sosok Mbok Dariah, sang maestro lengger Banyumas. Mbok Dariah merupakan seorang penari lengger sejak sebelum kemerdekaan. Salah seorang guru Dodo di SMKI Banyumas, menawari untuk memainkan peran Mbok Dariah muda dalam sebuah film yang disutradarai Bambang Hengky pada 2005.

Di saat memerankan peran tersebut, Agus pun terpanggil untuk meneruskan tari lengger yang pada saat itu kurang diapresiasi masyarakat.

"Setelah memerankan Mbok Dariah, saya banyak tawaran tampil bawakan lengger sampai sekarang," kata Dodo.

Merasa sudah yakin untuk menjadi seorang penari lengger, Dodo pun memilih nama “Agnes” sebagai nama panggungnya. Sebelum dan sesudah pentas, ia menggunakan baju laki-laki biasa. Dodo hanya menampilkan citra sebagai lengger secara utuh hanya di atas panggung.

"Dulu sebenarnya pertama kali bukan Agnes. Nama panggung saya Tarilem, ditari gelem. Tapi keliatan kurang oke, kok seperti yang enggak bawa rezeki. Lalu ada teman yang menyarankan pakai Agnes saja," tutur Dodo.


Meski Tenar Tetap Sederhana

Tidak berkuliah tapi Agus Widodo terus membawakan lengger. (Huyogo Simbolon)

Setelah lulus dari SMKI Banyumas, Dodo lebih memilih untuk langsung terjun ke panggung dibandingkan harus meneruskan pendidikannya ke bangku kuliah. Apalagi ia sudah yakin untuk menjadi seorang penari lengger.

Pencapaian dalam bidang tari pun dia dapat saat diberi penghargaan Apresiasi Budaya Jateng 2013 di Taman KB Semarang dan International Mask and Art Culture Organization, sebuah festival untuk merayakan hubungan diplomatik Korea Selatan-Indonesia di Korea Selatan, 2013 silam.

Walaupun tenar, hal tersebut tidak mengubah sosok Agus Widodo. Ia tetap hidup sederhana di Desa Binangun. Sebuah sanggar bernama Mranggi Laras pun ia dirikan untuk menjaga eksistensi tari.

Pernah dalam beberapa kesempatan Dodo mengajar anak-anak di kampugnya menari. Ia juga aktif mengasuh sanggar seni ebeg ata kuda panjang.

Namun, yang membuatnya tetap bertahan di kesenian tari adalah agar tari lengger dari Banyumas banyak bermunculan, sehingga tetap menambah khasanah dunia tari di Indonesia.

"Kalau menurut saya lengger itu sangat penting karena merupakan aset budaya yang memang harus dijaga. Janganlah tradisi itu hilang dengan kehadiran hiburan modern, tetapi harus ada generasinya," ucapnya.

Lengger, menurut Dodo, harus ada gerakan gambyong. Dulunya gambyong adalah tari klasik banyumasan yang digunakan untuk menyambut tamu yang dihormati.

Selain gambyong, hal yang selalu ia jaga adalah menyanyi. Pria berambut panjang ini mengatakan, salah satu ciri khas lengger ialah menyanyi atau tandak.

"Saya kan sukanya klasik. Kalau sekarang ini sudah banyak lengger kontemporer. Kalau dianggap lengger ya harus bisa tandak," ujar peraih Anugerah Budaya Gatra Budaya 2015 Pemkab Banyumas itu.

Dodo mengakui saat ini untuk tampil membawakan lengger tradisi secara lengkap berbiaya lebih mahal dibanding orkes lengger atau masyarakat menyebutnya orleng.

"Kalau sekarang yang satu paket jarang karena sekarang ada istilah orleng. Saya sendiri bawakan lengger paling sebulan hanya 2-3 kali. Kalau satu grup memang sampai Rp 5 juta, orleng cuma Rp 3 juta. Tapi saya tetap bertahan membawakan yang klasik saja," ungkapnya.

"Saat ini kita bersaing dengan musik modern. Tapi saya percaya budaya itu harus dilestarikan," sambung Dodo.


Seni yang Cukup Tua

Sebelum tampil, seorang lengger harus bisa merias dirinya sendiri. (Huyogo Simbolon)

Malam itu, Agus Widodo bergegas ke bukit Kendalisada di Desa Kaliori. Ia sedianya tampil dalam sebuah festival tahunan bertajuk Kendalisada Art Festival. Bau wangi dupa terbakar begitu menyengat di arena seni pertunjukan.

Di salah satu kamar rumah milik warga, Dodo duduk sambil menebalkan bedak di wajahnya. Sambil berkutat dengan kaca yang selalu ia pegang.

"Menjadi lengger itu harus bisa dandan sendiri. Saya kan perias pengantin juga, jadi tahu mana yang bagus untuk diri sendiri," ungkapnya.

Dalam dunia lengger ada kepercayaan kuat tentang kehadiran indang atau roh lengger yang merasuk dalam tubuh penari. Sunaryadi dalam buku Lengger Tradisi & Transformasi, cetakan 2000, Yogyakarta menyebutkan, seseorang yang mendapat indang bisa melakukan tarian lengger dan menembang tanpa belajar. Jika indang lengger telah masuk ke dalam raga seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak ada yang dapat menolaknya.

Diungkapkan Dodo, penari lengger juga harus melakukan puasa mutih alias tidak makan apa pun kecuali nasi putih sekepal dalam sehari. Hal itu dilakukan agar dapat menjiwai lengger dan bisa diterima khalayak.

"Puasa mutih itu harus ada. Sama ritual-ritual ke makam. Sebenarnya ritual ke makam itu untuk menghormati bukan meminta. Kalau meminta tetap ke Yang Maha Kuasa," ujarnya.

Tarian lengger awalnya merupakan tarian pergaulan yang tidak memiliki ritmik dan aturan dalam menari, seperti halnya tarian kraton pada umumnya. Tarian ini merupakan ekspresi yang dikeluarkan oleh penari mengikuti irama musik calung. Dan para penari lengger adalah penari yang memiliki kreatifitas dan imajinasi yang bebas dalam menari.

Seni tari lengger merupakan kesenian Banyumasan yang sudah cukup tua, dan tercatat sudah ada sejak abad ke-18. Tarian khas Banyumas ini dimainkan oleh laki-laki yang mengubah dirinya menjadi perempuan secara utuh dalam keseharian.

Ada yang mengartikan lengger berasal dari kata leng atau lubang perempuan (vagina) dan angger dengan anak laki-laki. Artinya, dikira wanita ternyata pria.

Sunaryadi menjelaskan dalam penelitiannya, perpaduan antara laki-laki dan pria tersebut menafsirkan keseimbangan kehidupan dalam konsep dualisme, antara kategori-kategori yang berlawanan. Kesendian ini sendiri pada mulanya sejak abad ke-16 memang ditarikan oleh laki-laki sebelum kedudukannya digantikan oleh perempuan sejak tahun 1918. Hal itu dikarenakan sudah jarang didapati anak laki-laki yang memiliki kemampuan untuk menjadi penari lengger.


Pasang Surut Lengger

Menurut sosiolog Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto Arizal Mutahir, tradisi lengger sudah ada sejak beratus tahun lamanya. Dan seni ini mulanya lekat dengan budaya pertanian.

"Di setiap daerah yang karakteristiknya pertanian, kesenian ini ada tapi dengan nama yang berbeda. Sehingga tidak heran jika di daerah lain di luar Banyumas juga ada semacam kemiripan," kata Arizal kepada Liputan6.com.

Pertunjukan lengger mulanya, kata dia, dilakukan untuk perayaan syukuran setelah petani mendapat hasil panen. Hal itu dilakukan untuk mendapat berkat dari dewi kesuburan sehingga mereka mengungkapkan rasa syukurnya dengan perayaan.

Saat ini, lengger hanya sebatas pertunjukan. Meski pada masa sebelumnya lengger pernah dikaitkan dengan budaya erotis dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. Bahkan sejak tahun 1965 lengger pernah dicap dianggap sebagai medianya partai komunis. Sehingga para pelaku lengger mulai menghilang dan perkembangannya semakin terhambat.

Lengger yang awalnya diperankan dari laki-laki kemudian berubah. Perempuan pun mulai menarikan tarian ini.

"Catatan perubahan mulai kelihatan pada 1930. Saat itu ditafsirkan krisis ekonomi, di sana kemudian orang butuh mata pencaharian. Kemudian ada transisi dari yang tadinya laki-laki ke perempuan," jelas Arizal.

Ia mengatakan, selain dunia kebatinan, lengger sesungguhnya adalah bagian dari asah olah hidup. Sebab, sebelum memutuskan untuk menjadi penari lengger, ia harus harus mementaskan lenggernya serta menjalani ritual prosesi yang wajib dilakukan.

Arizal melihat saat ini tradisi lengger masih dalam situasi yang dia gambarkan dengan hidup enggan, mati tak mau. Meski beberapa paguyuban masih bertahan hingga saat ini.

"Ini persoalannya bagaimana pemkab memandang lengger itu sendiri. Kalau beberapa festival sudah diadakan tapi proses regenerasi kan harus. Mereka yang masih bertahan dengan kesenian itu punya tradisi kuat untuk menjaga budayanya," kata Arizal.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya