Kisah Perjuangan Anjas Cari Anak dan Istrinya Usai Gempa Palu

Berbagai upaya dilakukan Anjas. Mulai melapor tim evakuasi, berjalan kaki berkilo-kilometer hingga mendatangi tiap rumah sakit. Namun usaha itu nihil.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Okt 2018, 20:39 WIB
Pantauan udara ratusan rumah terendam lumpur dan tanah di Petobo, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). Fenomena likuifaksi tersebut terjadi pasca gempa berkekuatan 7,4. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Sambil mengalungkan sobekan kardus yang bertuliskan nama dan istrinya, Anjas Firmansyah berkeliling mengelilingi kota. Berkilo-kilo meter dari Perumnas Balaroa hingga akhirnya tiba di Rumah Sakit Anutapura, Kota Palu.

Anjas adalah satu dari sekian banyak kisah warga Palu yang berada dalam kekalutan karena kehilangan anggota keluarga pascatsunami dan gempa Palu. Keinginan Anjas hanya satu, bertemu anggota keluarganya yang hilang, apa pun kondisinya.

Ia tak ingin hanya berdiam diri dan menunggu kabar yang belum pasti, berbagai upaya dilakukan, mulai dari melapor ke tim evakuasi, berjalan kaki berkilo-kilometer mendatangi tiap rumah sakit, hingga melakukan pencarian seorang diri dengan cara apa pun, seperti yang dilakukan oleh Anjas.

"Saya mampir ke sini untuk mengambil obat. Kaki saya sempat mendapat lima jahitan karena terluka ketika gempa. Sambil mencari tahu keberadaan istri dan anak saya, saya optimis mereka masih hidup,” kata Anjas kepada Tim Aksi Cepat Tanggap di Rumah Sakit Anutapura, Kota Palu yang dikutip Antara, Kamis (4/10/2018).

Hati dan pikirannya belum tenang memikirkan keberadaan istri dan anaknya. Anjas mengaku, terakhir kali bertemu istri dan anaknya sesaat sebelum gempa mengguncang.

Sang istri sempat memberi tahu Anjas bahwa ada gempa di Kabupaten Donggala. Namun, ia tak terlalu menghiraukan dan justru memilih pergi ke toilet untuk mandi. Tak lama masuk ke dalam kamar mandi, gempa datang mengguncang. Anjas panik dan langsung keluar rumah dengan kondisi hanya memakai handuk.

“Kejadiannya beberapa menit menjelang maghrib. Saya lihat tanah terangkat, saya lari ke atas atap, selamatkan diri. Kaki saya sempat terjepit kayu-kayu di atap, saya coba keluarkan kaki, rupanya bisa. Saya terus berjalan menelusuri atap, saya lihat ada masjid sampai bisa bergerak ke arah timur, bergerak karena guncangan,” tutur Anjas.

Sambil menyelamatkan diri, ia juga berupaya mencari istri dan dua anaknya. Sebab setelah keluar dari kamar mandi dan melarikan diri ke atap, Anjas tidak melihat lagi istri dan dua anaknya. Beberapa meter bergerak, akhirnya Anjas bertemu anak pertamanya. Langsung ia gandeng lengan anaknya untuk menyelamatkan diri bersama.

Anjas dan anak pertamanya bergerak ke sisi timur Perumnas Balaroa Palu yakni ke arah Jalan Kelor. Tak hanya mereka berdua, ada 20 warga yang juga ingin menyelamatkan diri. Berbagai upaya mereka lakukan, mencari pijakan kaki yang serasa kuat; seperti atap, batang pohon, dan tanah yang menurut mereka aman untuk dilalui.

 


Rusak 100 Persen

Pantauan udara ratusan rumah terendam lumpur dan tanah di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). Fenomena likuifaksi merupakan hilangnya kekuatan tanah akibat besarnya massa dan volume lumpur yang keluar pasca gempa. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Gempa besar 7,4 SR yang terjadi di Kota Palu berimbas luarbiasa di Perumnas Balaroa. Perumahan padat penduduk itu mengalami kerusakan 100 persen. Tanah amblas, aspal terangkat ke atas seperti dilipat.

Bahkan tak sedikit pula rumah yang tertimbun lumpur dan bergerak sendiri akibat fenomena likuefaksi (hilangnya kekuatan tanah yang berubah menjadi lumpur akibat guncangan gempa).

"Saya juga sempat imbau orang-orang itu untuk bergegas, sebab saya lihat juga ada titik api di salah satu sudut perumnas. Saya khawatir api akan menyebar karena angin begitu kencang saat itu, dan hari juga sudah mulai gelap,” jelasnya.

Setelah berhasil sampai di Jalan Kelor Perumnas Balaora, mereka berusaha mencari pertolongan. Anjas kembali mencari istri dan anak keduanya yang hilang dengan mengelilingi perumnas secara keseluruhan. Sambil menggendong anaknya, Anjas abaikan kegelapan malam dan juga rasa sakit pada kakinya.

"Saya cari dengan panggil-panggil nama mereka. Saya teriak, ‘Atri, Fajar, kalian di mana? keras-keras saya teriak. Sudah mengelilingi berkali-kali, tetap tidak berhasil ketemu,” kata Anjas.

Sebab tak tega jika terus berjalan dengan anak pertamanya, malam itu Anjas memilih pergi mencari tempat untuk mengungsi. Awalnya Fajar mengungsi di Terminal Pasar Lama Palu, namun keesokan paginya ia pindah ke pelataran Hotel Buana.

"Saya antar anak saya ke halaman depan Hotel Buana yang saya anggap aman untuk mengungsi, setelah itu saya keliling lagi mencari istri dan anak kedua saya, Atri dan Fajar,” paparnya.

Menurut Anjas, tidak ada yang bisa menghalangi upayanya mencari istri dan anaknya. Meski kondisi kakinya masih belum pulih, ia akan terus mencari keduanya.

"Bagaimanapun, akan terus saya cari. Saya optimis mereka masih hidup, mungkin saja mereka diselamatkan orang dan dibawa mengungsi. Jika tidak selamat pun, saya akan tetap terima kehendak-Nya, yang penting mereka ketemu," tutur Anjas.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya