Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dinilai perlu memberikan insentif bagi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Hal ini guna mendorong peningkatan ekspor komoditas tersebut.
Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan ekspor CPO bisa menjadi langkah yang ampuh untuk mengendalikan nilai tukar rupiah.
"Bisa jalan pintas atau quick win. Tawaran solusinya adalah mengurangi pungutan ekspor untuk CPO dari USD 50 untuk yang mentah dan USD 30 untuk olahan menjadi USD 20 per ton. Minyak sawit penyumbang devisa nonmigas terbesar," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (6/10/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia menjelaskan, meski menjadi andalan ekspor, tetapi dalam beberapa waktu terakhir ekspor komoditas CPO Indonesia mengalami gangguan. Sebagai contoh, ada penggenaan bea masuk di India.
"Adanya hambatan bea masuk ke India jadi persoalan yang buat kinerja ekspor CPO tidak optimal. Jika pungutan ekspor direlaksasi sementara daya dorong sawit diharapkan menekan defisit perdagangan dan kuatkan kurs rupiah. Nanti ketika sudah mulai stabil ekspornya pungutan ekspor CPO bisa dikenakan lagi," kata dia.
Selain CPO, ada sejumlah komoditas lain yang bisa berkontribusi dalam menekan gejolak nilai tukar melalui ekspornya, yaitu karet. Namun saat ini harga karet dunia tengah mengalami tekanan.
"Paling besar CPO. Selain itu karet. Tapi pasar karet mengikuti penjualan otomotif global. Sekarang sedang slowdown memang," ujar dia.
Berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia atau Jisdor, Jumat, 5 Oktober 2018, nilai tukar rupiah sentuh posisi 15.182 per dolar AS. Rupiah melemah dari posisi kemarin di 15.133 per dolar AS.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Sri Mulyani Beberkan Biang Kerok Pelemahan Rupiah
Sebelumnya, rupiah terus melemah hingga di atas 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelemahan rupiah terjadi diakibatkan semakin membaiknya ekonomi negara Paman Sam tersebut.
Dia menegaskan, pemerintah secara terus menerus memantau dampak kebijakan AS terhadap Indonesia.
"Menyikapi berkembangnya perekonomian terutama yang terjadi di Amerika Serikat sangat kuat yang kemudian menimbulkan sentimen terhadap USD dan beberapa risiko yang berasal dari negara-negara berkembang," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat 5 Oktober 2018.
Dari sisi perekonomian dalam negeri, pemerintah secara aktif terus memantau efektivitas setiap kebijakan yang dilakukan. Pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengkaji instrumen yang perlu ditambah untuk memperkuat ekonomi Indonesia dari segala resiko eksternal.
"Di dalam perekonomian Indonesia sendiri kita juga terus menerus melihat bagaimana dinamika ini harus kita sikapi. Dan kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia dengan OJK apakah masih perlu untuk ditambah, karena kemudian dinamika yang terjadi berubah atau makin kuat," jelasnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, dalam rangka menjaga neraca pembayaran pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan salah satunya mengurangi ketergantungan terhadap impor. Kebijakan yang telah berjalan saat ini adalah penerapan B20 dan evaluasi tarif barang impor sebanyak 1.147.
"Kebijakan yang selama ini sudah ada dimonitor dampaknya dan bagaimana kita untuk terus memperkuatnya. Contohnya karena memang ini masih akan berhubungan dengan neraca pembayaran kita akan terus melihat apa yang sudah pemerintah lakukan," jelasnya.
"Pemerintah sudah melakukan kebijakan seperti B20, kita sudah melakukan monitoring terhadap impor 1.147. Saya setiap minggu mendapatkan laporan dari Dirjen Bea dan Cukai, berapa perkembangan dari impor barang-barang tersebut dan bagaimana ini implikasinya ke neraca pembayaran terutama CAD," tandasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement