Liputan6.com, Tokyo - Tiga bulan setelah perjalanan terakhirnya ke Korea Utara, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, kembali ke Pyongyang untuk bertemu Kim Jong-un dan pejabat tinggi lainnya saat pemerintahan Presiden Donald Trump mencari beberapa kemajuan nyata soal denuklirisasi rezim tersebut.
Diplomat top AS itu juga memiliki misi lain, mempersiapkan pertemuan puncak kedua Donald Trump dan Kim Jong-un.
Pompeo meninggalkan Tokyo menuju Pyongyang pada Minggu 7 Oktober, setelah berjanji bahwa AS akan berkoordinasi dengan para sekutunya, Jepang dan Korea Selatan, mengenai upaya-upaya untuk membujuk Korea Utara agar menyerahkan senjata nuklirnya, demikian seperti dikutip dari ABC News (7/10/2018).
Baca Juga
Advertisement
Sang Menlu AS itu menuju ke pertemuan kedelapannya dengan tim Korea Utara - dan pertemuan keempatnya sejak KTT AS-Korea Utara di Singapura pada Juni 2018.
Namun, ada keraguan yang berkembang tentang apakah dorongan diplomatik Presiden Donald Trump melalui Mike Pompeo dapat berhasil, jika kedua belah pihak masih belum memiliki pemahaman yang sama tentang konsep, cara, dan tujuan akhir dari gagasan denuklirisasi yang disepakati oleh kedua belah pihak usai KTT AS-Korea Utara di Singapura pada Juni 2018.
Menanggapi keraguan itu, Pompeo berkata kepada sejumlah wartawan jelang keberangkatannya dari Tokyo ke Pyongyang: "Misinya adalah memastikan bahwa kami memahami apa yang setiap pihak benar-benar ingin dicapai."
Rangkaian Lawatan di Asia Timur
Pada Jumat 5 Oktober 2018, Menlu AS itu bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Pompeo juga berupaya menyatukan pandangan kedua negara itu sambil merencanakan KTT kedua antara Presiden Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menuju denuklirisasi.
Jepang menanggapi insiatif Trump itu dengan hati-hati, karena khawatir itu bisa berdampak pada hubungan keamanan yang telah berlangung lama dengan AS.
Pompeo mengatakan penting untuk mendengar dari pemimpin Jepang itu supaya "kita memiliki pandangan yang terkoordinasi dan sama."
Selepas dari Jepang, Pompeo kemudian bertolak ke Korea Utara. Kemudian, ia dijadwalkan berkunjung ke Korea Selatan untuk bertemu Presiden Moon Jae-in dan Menlu Kang Kyng-hwa. Usai itu, Pompeo ke China untuk bertemu dengan pejabat senior di tengah meningkatnya ketegangan AS dengan Tiongkok.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Simak video pilihan berikut:
Korea Utara: Tak Akan Ada Perlucutan Senjata Nuklir Jika...
Lawatan Pompeo ke Korea Utara untuk membicarakan denuklirisasi terjadi beberapa pekan setelah Menteri luar negeri Korea Utara Ri Yong-ho memperingatkan komunitas global, bahwa negaranya tidak akan melucuti senjata nuklir (denuklirisasi) jika sanksi AS terus dijalankan.
Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Ri Yong-ho saat berpidato di salah satu agenda Sidang Umum PBB di New York, Sabtu 29 September. Ia menambahkan bahwa sanksi tersebut memperdalam ketidakpercayaan Korea Utara terhadap AS.
Dikutip dari BBC pada Minggu (30/9/2018), Pyongyang telah berulang kali meminta pencabutan sanksi PBB dan AS, di mana hal itu mendapat dukungan besar dari Rusia dan China.
Tetapi Gedung Putih mengatakan bahwa sanksi harus tetap berlaku sampai Korea Utara melakukan denuklirisasi penuh.
Presiden Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un sempat bertemu tatap muka pada bulan Juni di Singapura, di mana menghasilkan kesepatan bahwa Pyongyang akan bekerja menuju perlucutan senjata nuklir.
Di satu sisi, Korea Utara mendesak pencabutan sanksi karena pihaknya merasa sudah menjalankan komitmen denuklirisasi.
Namun di sisi lain, AS menuding bahwa Korut belum sepenuhnya melakukan denuklirisasi, dan bersikeras bahwa sanksi tidak akan dicabut hingga Pyongyang benar-benar mencerabut habis program nuklirnya.
Menanggapi tudingan AS, Menlu Ri mengatakan bahwa kebuntuan denuklirisasi disebabkan karena Negeri Paman Sam bergantung pada langkah-langkah koersif yang mematikan untuk membangun kepercayaan.
"Tanpa kepercayaan di AS, tidak akan ada kepercayaan pada keamanan nasional kami dan dalam keadaan seperti itu, tidak ada cara kami akan secara sepihak melucuti diri terlebih dahulu," tegas Menlu Ri.
"Persepsi bahwa sanksi dapat membawa kami berlutut adalah mimpi dari orang-orang yang tidak peduli tentang kami," tambahnya.
Advertisement