Penyelamatan Dramatis Korban Palu yang Memeluk Jasad Ibu

Gempa dan tsunami menerjang Palu dan sekitarnya. Korban-korban berjatuhan. Proses pencarian dan evakuasi berlangsung penuh haru.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Okt 2018, 17:32 WIB
Masjid Babul Jannah di loli Saluran, Banawa, Kabupaten Donggala menarik perhatian warga. Tempat ibadah in menjadi saksi bisu dahsyatnya gempa dan tsunami menerjang Palu dan Donggala, Jumat 28 September 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 disertai tsunami menerjang Palu, Sulawesi Tengah, dan sekitarnya pada Jumat petang, 28 September 2018. Usai bencana itu, segenap pihak intensif menjalankan aksi pencarian dan evakuasi korban. Proses itu pun berlangsung penuh haru.

Seperti laporan yang dilansir Antara, terlihat pada Minggu, 30 September 2018 di kantor Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) Kota Palu. Pada pukul 03.00 WIB dini hari, suasana sudah terlihat sangat sibuk.

Sejumlah orang berdatangan mencari nama saudara, sanak keluarga, dan kerabatnya. Mereka berharap nama keluarganya tertulis pada kertas A0 yang dipasang di dalam kantor. Sejak terjadinya gempa, mereka tidak mengetahui keberadaan keluarganya.

Banyak di antara mereka meminta tolong segera mengevakuasi jenazah orang terjebak di reruntuhan bangunan, tetapi hanya didata karena terlalu banyak permintaan, sementara personel sangat kurang.

Kantor Basarnas Palu bermarkas di Jalan Elang, malam itu satu-satunya yang bercahaya karena menggunakan genset. Bangunan dan rumah-rumah di sekitarnya padam akibat aliran listrik dan komunikasi terputus.

Sesekali penerangan muncul dari balik lampu kendaraan yang melintas di jalan raya setempat menerangi puluhan orang duduk di pinggir jalan menunggu kejelasan pertolongan keluarganya.

Pasukan berbaju oranye ini terlihat mondar-mandir. Ada yang baru tiba dan ada yang bersiap untuk melakukan upaya penyelamatan. Dari laporan, masih ada korban hidup di Perumnas Balaroa, Palu Barat, tim langsung bersiap.

Mendapat instruksi atas laporan masyarakat itu, korban selamat tetapi terjebak di dalam reruntuhan bangunan, satu tim kecil Basarnas diterjunkan melakukan survei sekaligus memberi pertolongan pertama menggunakan kendaraan pikap menuju lokasi.

Tim pertama bergerak menelusuri kota yang sudah mati tanpa penerangan. Di perjalanan, terlihat warga korban gempa berada di pinggiran jalan dan tanah lapang memasang tenda-tenda sebagai tempat bernaung.

Penduduk kota kelihatan takut berada di dalam rumahnya, karena trauma sering terjadi getaran gempa susulan yang masih aktif sesekali pada malam hari. Dalam keadaan gelap gulita, tim kemudian masuk ke lokasi dengan senter penerang serta helm senter kepala menyusuri tanah yang sudah longsor, bagian lain sudah menjadi perbukitan.

Terdengar suara sayup-sayup orang minta tolong, tetapi tidak jelas posisinya di mana. Sebab, dini hari itu keadaan sangat mencekam dan gelap gulita, reruntuhan di mana-mana. Tim Basarnas meminta agar fokus, tidak terpengaruh suara-suara tersebut, membuat keadaan semakin merinding dan tegang.

Sekitar pukul 03.20 WIB, posisi titik korban ditemukan masih selamat. Observasi langsung dilakukan dengan mengupayakan korban tetap bernafas dan sesekali diajak berbicara agar tetap sadar. Waktu terasa sangat lambat hingga akhirnya fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Terlihat jelas seluruh lokasi tersebut amblas sedalam lima meter. Sebagian jalanan berubah menjadi bukit, rumah-rumah rata dengan tanah, puluhan kendaraan roda dua dan empat dan perabot rumah posisinya tidak karuan.

Satu masjid ambruk dan hanya menyisakan kubah juga menaranya, bau sisa kebakaran masih terasa, orang-orang juga mulai tampak. Pagi itu, tim kedua Basarnas tiba di lokasi untuk membantu proses evakuasi.

Korban diketahui bernama Nurul Istihara, pelajar berumur 15 tahun. Dia sesekali membuka lalu menutup matanya akibat kelelahan. Sudah dua hari berjuang hidup karena separuh badannya tertanam di dalam tanah berdampingan dengan jasad ibunya, Risni (37) dengan posisi berdiri, meninggal sehari sebelumnya.

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.


Detik-Detik Menegangkan

Warga menyaksikan proses evakuasi Nanang Kosim (20) menggunakan alat berat, yang diduga masih tertimbun di dalam tanah pascagempa dan tsunami Palu di Pantai Talise, Sulawesi Tengah, Senin (8/10). (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Terlihat jelas bekas sisa nasi di piring dengan lauk telur dadar, beserta botol mineral di samping korban seusai disuapi ayahnya, Yusuf (41), yang berusaha agar anaknya tetap hidup di tengah reruntuhan bangunan Perumnas Balaroa, Kelurahan Balaroa, Palu Barat, Provinsi Sulteng.

Posisi korban terperosok dan terperangkap di dalam tanah bersamaan bangunan, atap rumah sudah sejajar dengan tanah, sebagian lokasi menjadi bukit akibat pencairan tanah atau likuifaksi saat terjadi gempa berkekuatan 7,4 magnitudo lebih besar dari gempa Lombok.

Penderitaan Nurul semakin bertambah, di mana tempat dia terperangkap berbentuk kubangan, air PAM yang bocor terkumpul setinggi satu setengah meter hingga terus naik di lehernya, tetapi dia tetap bertahan.

Beruntung, ada mesin genset sebagai penolong digunakan menghisap air, agar tidak menenggelamkannya. Meski diisap menggunakan mesin, air malah tak kunjung berkurang. Tim Basarnas terus berpikir bagaimana cara mengevakuasi korban agar tetap selamat.

Satu anggota berusaha mengajak Nurul bicara dengan memegang kepalanya sembari memberi semangat. Kedua tangan Nurul yang sudah keriput memeluk kaki anggota Basarnas, sesekali diberikan air minum agar tidak dehidrasi di tengah teriknya panas matahari yang menyegat.

Sementara, anggota lainnya berjibaku menguras air menggunakan ember bekas cat, sedangkan yang lain membuatkan bendungan kecil agar air tidak kembali ke kubangan.

"Saya mau tidur, pulang semua, apa kalian bikin dari rumah saya, jangan ganggu, saya mau tidur, pergi sana semua saja," tutur Nurul berhalusinasi kala sedang lemas kepada anggota Basarnas mengajaknya berbicara.

Sulitnya medan tidak meruntuhkan semangat tim Basarnas. Berbagai cara dilakukan agar anak ini selamat. Korban terjepit batu bersama almarhumah ibunya, sehingga batu tersebut harus dikeluarkan. Banyak orang datang hanya melihat-lihat dan tidak membantu.

Orang-orang ini sibuk mencari keluarga mereka yang tertimbun reruntuhan bangunan rumah, sebagian lainnya hanya melihat puing-puing reruntuhan akibat gempa, sambil berfoto-foto. Evakuasi Nurul berjalan selama 14 jam lebih dan berlangsung dramatis.

Air perlahan mulai surut, anggota Basarnas langsung menggali untuk memindahkan batu tersebut, lalu mengangkat korban selanjutnya beserta jasad ibunya. Ternyata, di bawah Nurul masih ada puluhan jasad lainnya yang tertimbun.

Nurul selamat dan dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis, mengingat kondisi tubuhnya sangat lemah, tangan dan kakinya berkeriput, badan keram akibat terjepit dan terendam air selama dua hari. Begitu pun jasad ibunya dimasukkan dalam kantong jenazah lalu dibawa ke rumah sakit setempat.

Usai Nurul dievakuasi, berselang beberapa saat, Presiden Joko Widodo tiba-tiba datang mengunjungi lokasi Balaroa yang ambles itu. Presiden melihat langsung dampak ditimbulkan gempa, selanjutnya menginstruksikan segera memberikan pertolongan bagi korban pascagempa.

 


Kisah Sang Ayah Menjaga Nurul

Relawan PMI tengah mencari korban gempa Palu dan Donggala. (dok PMI)

Yusuf, ayah dari Nurul Istihara, korban selamat menceritakan kenapa dirinya sampai selamat saat terjadi gempa. Siang itu, sudah ada tanda-tanda getaran-getaran hingga menjelang sore. Dia berada di rumah tetangga bersebelahan dengan rumahnya saat gempa berlangsung delapan detik.

"Saya di sebelah rumah, tiba-tiba terjadi goyangan sangat keras seperti diguncang, orang semua berlarian keluar, saya pun ikut berlari keluar menyelamatkan diri, saya lihat tanah tiba-tiba turun dan seolah menelan rumah-rumah di sini begitu cepat. Saya baru sadar ada keluarga di dalam," ucapnya.

Kejadian itu, saat masuk waktu Magrib, listrik padam, ditambah suasana mencekam orang-orang panik dan tidak bisa berbuat apa hanya pasrah. Orang-orang kebingungan, menangis berteriak, bahkan masuk ke dalam lokasi mencari keluarganya.

Usai gempa, dia memberanikan diri mencari keluarganya, meski secara perlahan-lahan langit mulai gelap. Selang beberapa saat dia menemukan anak dan istrinya, kendati satu anaknya yang lain sudah hilang.

"Saya mendapati anak dan istri saya masih hidup, tapi terjepit dan tertanam sebagian badannya di tanah. Saya berusaha menghibur mereka agar tetap kuat sambil mencari bantuan. Tetapi, Tuhan berkata lain istri saya hanya bertahan enam jam saja lalu meninggal," tuturnya sedih.

Yusuf sempat kesulitan mencari bantuan untuk menyelamatkan keluarganya, beberapa keluarga tidak secara penuh membantu menjaga anaknya selama mencari pertolongan, jaringan komunikasi putus, Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat sulit, begitu pun air minum.

"Saya sudah dua kali ke Basarnas untuk meminta pertolongan agar anak saya dievakuasi segera, tapi belum digubris karena tenaga kurang. Nanti permintaan yang ketiga ini baru direspons pada hari Minggu. Saya bersyukur anak saya masih bisa diselamatkan," ucapnya.

Dia menuturkan, anaknya bertahan karena dipaksa makan dan minum olehnya. Beberapa orang yang menjaganya saat dia pergi mencari pertolongan, juga ikut meninggalkan korban yang saat itu sedang kritis. Yusuf terus berdoa agar anaknya selamat.

"Sudah dua hari saya tidak tidur menjaga anak saya di sini, banyak orang maupun keluarga diminta bantuan hanya menjaganya sebentar, ketika saya pergi, mereka jaga sebentar lalu pergi. Saya memaklumi mereka juga mencari keluarganya yang hilang. Ada ratusan orang tertimbun di sini," katanya.

 


Korban-Korban Gempa Palu

Usai dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Anuta Pura, Palu, kondisi Nurul Istihara berangsur-angsur membaik, dia ditangani oleh tim medis untuk pemulihan, kendati belum sembuh sepenuhnya Nurul selanjutnya dirujuk ke Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sulawesi Selatan, untuk mendapatkan perawatan intensif.

Nurul bersama puluhan pasien korban gempa diterbangkan menggunakan pesawat Hercules pada hari kelima setelah gempa disertai tsunami yang meluluhlantakkan sebagian daerah terdampak masing-masing Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi, Sulteng.

"Seluruh korban telah ditangani dengan baik. Saat ini sudah ada 11 rumah sakit beroperasi. Meski Rumah Sakit Anuta Pura belum maksimal karena sebagian bangunan runtuh, tetapi dibangun tenda sementara di depan rumah sakit untuk melayani pasien," kata Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto, di Palu.

Kepala Bidang Operasi Basarnas, Brigjen Bambang Suryo, mengatakan optimistis operasi tanggap darurat pascagempa di Palu, Donggala dan Sigi diupayakan semaksimal mungkin, meskipun Sumber Daya Manusia terbatas sejak awal masa pencarian dan evakuasi.

"Kami berusaha semaksimal mungkin berbuat untuk para korban, meski kami kekurangan sumber daya, masyarakat diminta bersabar karena kami terus bekerja walaupun personel terbatas. Bantuan personel dari luar daerah serta relawan juga mulai berdatangan membantu," ujarnya.

Saat ini personel Basarnas terus bertambah, TNI juga dikerahkan untuk membantu proses evakuasi korban, alat berat diturunkan, berbeda kondisinya pada hari kedua dan ketiga pascagempa, sumber daya kurang sementara permintaan evakuasi terhadap korban sangat tinggi, sehingga yang diprioritaskan kala itu korban masih hidup.

Untuk lokasi paling parah diterjang gempa di wilayah kota Palu, yakni Perumnas Balaroa, hotel Roa-roa, hotel Mercure, hotel de Syah, Anjungan pantai Talise, Mal Tatura. Di Kabupaten Sigi yakni perumahah wilayah Petobo, dan Kabupaten Donggala di wilayah Sirenja dan sekitarnya.

Berdasarkan data per 7 Oktober 2018, korban meninggal dunia mencapai 1.944 orang, luka 2.549 orang, hilang 683 orang, tertimbun 152 orang. Jumlah pengungsi sebanyak 74.444 jiwa, dan rumah rusak 65.733 unit. Pemakaman massal total 1.120 orang di dua tempat yakni Paboya dan Pantoloan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya