Liputan6.com, Aceh - Pagi tampak cerah. Kapten Charles Emile Schmid berdiri tegap di salah satu sudut lapangan. Dadanya agak ia busungkan. Matanya menatap awas ke arah kumpulan serdadu yang sedang berbaris. Sesekali terdengar Komandan Divisi 5 Korp Marsose Lhoksukon itu menghardik. Ia tidak suka jika di antara prajuritnya itu ada yang tak disiplin.
Sebagai seorang komandan, sudah menjadi kewajibannya memantau kedisplinan para prajurit. Tidak disiplin, berarti siap-siap untuk kalah perang. Schmid tidak ingin itu terjadi.
Puas memantau anak buahnya, Schmid beranjak pulang. Baru beberapa langkah ia meninggalkan lapangan, tiba-tiba seorang Aceh lewat di hadapannya. Orang itu berhenti lalu memberi 'tabik' atau salam penghormatan.
Schmid mengangkat tangannya untuk membalas salam penghormatan orang itu sembari tersenyum. Baru saja ia melihat sang pemberi tabik menurunkan tangannya, ketika ia sadar, ujung rencong orang itu sudah menembus perutnya.
Baca Juga
Advertisement
Shcmid lengah! Ia tak melihat orang tadi menarik rencong yang diselipkan di pinggangnya. Schmid terhuyung dan sekarat. Seragamnya basah oleh darah. Kendati diboyong ke rumah sakit, tetapi nyawanya tak tertolong. Schmid tewas.
Cerita di atas menggambarkan bagaimana Komandan Divisi 5 Korp Marsose Lhoksukon, Kapten Charles Emile Schmid tewas pada suatu Senin yang cerah, tepatnya tanggal 10 Juli 1933 di Aceh.
Tragis memang. Sang kapten tak mati di medan perang atau di rimba pertempuran. Ia mati ditusuk di depan pasukannya sendiri. Ditikam!
Lokasi di mana Schmid ditusuk seharusnya menjadi tempat paling aman dari serangan musuh. Terlebih, tempat itu dekat dengan tangsi-tangsi militer milik Belanda. Lantas, kenapa si pelaku penusukan berani melakukannya?
Di sini tidak dibahas siapa Amat Leupon yang menjadi pelaku penusukan Kapten Schmid? Bagaimana nasib Amat Leupon setelahnya? Bagaimana akhirnya Amat Leupon tewas dicincang oleh serdadu Belanda bernama Asa Baoek.
Akan tetapi, hal terpenting yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah landasan moral-spiritual yang mendasari si pelaku melakukan perbuatan nekatnya.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Fenomena Aceh Gila pada Masa Kolonial
Perlu dicatat kejadian yang menimpa Kapten Schmid di atas hanyalah salah satu dari banyak kisah serupa yang terjadi di Aceh pada masa kolonial.
Saat itu, upaya pembunuhan terhadap opsir dan perwira Belanda sering terjadi. Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan secara sporadis, perseorangan, dan tanpa disangka-sangka.
Kejadiannya bisa terjadi di mana saja. Di jalan, di pasar, di keramaian, bahkan di tangsi-tangsi militer milik Belanda. Para pelakunya orang Aceh. Mereka tidak memandang umur atau jenis kelamin korbannya. Siapa pun yang berkulit putih, Hamok! (hajar!).
Bagi pihak Belanda, fenomena ini menjadi suatu hal yang tidak biasa. Mereka menyebutnya Atjeh Moorden atau 'pembunuhan Aceh'. Selanjutnya lebih dikenal sebagai Aceh Pungo (Bahasa Aceh), atau Aceh Gila.
Penyematan kata 'gila' merujuk pada anggapan awal pihak Belanda mengenai sikap orang Aceh yang bisa tiba-tiba menghunus rencongnya dan menyasar orang Belanda. Oleh orang Belanda, ini dianggap sebagai gejala psikologis.
Perbuatan nekat itu dianggap tidak mungkin dilakukan oleh orang waras. Maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo.
Fenomena Aceh Pungo ini dapat kita baca dalam beberapa literasi yang ditulis oleh orang Belanda sendiri. Misalnya di dalam The Dutch Colonial War in Aceh, dan Prominet Women In The Glimpse of History.
Selain itu, dapat juga dilihat dalam The Old World Though Old Eye: Three Years in Oriental Land. Buku ini ditulis Mary Smith Ware turis asal Amerika yang pernah ke Aceh pada masa kolonial Belanda. Konon, sang penulis juga menjadi salah satu korban Aceh Pungo.
Selain kisah Kapten Schmid, ada kisah seorang perempuan Aceh di Pidie, bernama Pocut Meurah Intan alias Pocut Di Biheue. Dia nekat menyerang 18 tentara marsose yang sedang patroli sendirian.
Selanjutnya, ada kisah seorang Uleebalang di Desa Titeue, Pidie yang menikam Letnan Kolonel Scheepens seorang perwira Belanda di Sigli pada 10 Oktober 1913.
Scheepens diserang saat yang bersangkutan sedang memimpin rapat atau sidang untuk menyelesaikan suatu sengketa yang dialami oleh penduduk setempat.
Terdapat pula kisah Teuku Ubit. Seorang santri berusia 16 tahun yang membunuh seorang pejabat controleur Belanda bernama Tiggelman di Seulimeum, Aceh Besar pada 23 Februari 1942.
Tiggelman dibacok dengan kelewang, sejenis pedang panjang khas Aceh, hingga mati bersimbah darah di rumah dinasnya sendiri.
Tiga bulan setelah pembunuhan yang menimpa Kapten Schmid, dua orang anak-anak keturunan Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (Banda Aceh) juga menjadi korban Aceh Pungo.
Pada 1910-1920 terdapat sebanyak 79 kasus Aceh Pungo dengan jumlah korban keseluruhan sebanyak 99 orang. Puncaknya antara tahun 1913, 1917, dan 1928 dengan jumlah 10 kasus setiap tahunnya. Sedangkan, pada tahun 1933 dan 1937 masing-masing terjadi 6 dan 5 kasus.
Namun, jumlah korban tersebut cenderung tidak mewakili jumlah keseluruhan korban. Hal ini karena, jumlah itu dihitung sejak tahun 1910 hingga 1937 saja. Sedangkan pada tahun sebelum dan sesudahnya tidak tercatat sama sekali.
Advertisement
Belanda Teliti Penyebab Gekke Atjeh
Fenomena Aceh Pungo atau Gekke Atjeh, atau Atjeh Moorden mendorong Belanda untuk melakukan penelitian. Belanda menunjuk Dr. R.A Kern, seorang penasihat pemerintah urusan kebumiputeraan untuk meneliti akar dan penyebab Aceh Pungo di Aceh. Seluruh penelitian R.A Kern ditulis dalam bukunya Onderzoek Atjeh Moorden.
R.A Kern menyampaikan laporan hasil penelitiannya itu kepada gubernur jenderal Hindia Belanda pada 16 Desember 1921. Dan diterbitkan dalam Kernpapieren No.H.797/159 oleh KITLV Leiden, Belanda.
Menurut R.A Kern pula lah, fenomena Atjeh Moorden disebut sebagai gejala sakit jiwa. Pemerintah Belanda juga sempat mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Saat itu, dr. Latumenten yang menjadi kepala rumah sakit juga melakukan studi terhadap para pelaku.
Baik R.A Kern maupun dr. Latumenten, mereka salah besar!. Kendati fenomena pembunuhan khas Aceh itu didasari oleh kondisi psikis pelakunya yang tertekan atau frustasi, kenyataannya, para pelaku tidak pernah didiagnosis mengidap sejenis gangguan kejiwaan atau gila.
Ya, ada gejala-gejala yang tidak bisa dijangkau oleh pemikiran medis mengenai sikap dan tindakan orang Aceh, yang dikenal dengan sebutan Aceh Pungo, atau Aceh Gila tersebut.
"Fenomena Aceh Pungo itu memang disebabkan oleh rasa benci kepada Belanda yang masih tertanam. Kekecewaan hidup. Sebagian frustasi karena sakit tidak kunjung sembuh. Hal ini menjadi perangsang untuk mencari jalan syahid," ujar T.A Sakti, budayawan dan sejahrawan Aceh, Rabu, 10 Oktober 2018.
R.A Kern juga mengakui itu. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh sebagian rakyat Aceh itu didorong oleh perasaan tidak puas akibat ditindas oleh orang Belanda. Karena itu, jiwanya tetap melawan Belanda.
Atjeh Moorden dan Jiwa Jihad yang Membara
Perang Aceh ditandai dengan meletusnya meriam-meriam milik Belanda dari atas kapal perang mereka, Citadel van Antwerpen pada 23 Maret 1873 silam. Pada 8 April di tahun itu juga, 1.398 serdadu pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler mendarat di Pantai Ceureumen.
Sejak saat itu, rakyat Aceh menyatakan perang dan melawan yang apa mereka sebut kaphee (kafir). Perang yang dikenal sebagai Perang Aceh ini, masuk dalam kategori 10 perang terlama di dunia.
Kendati Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, namun sumbu-sumbu perlawanan masih menyala. Oleh karena itu, di tahun-tahun setelahnya, bedil orang Aceh masih menyalak. Rencong mereka masih memburu para kaphee.
Perang masih berlangsung secara sporadis. Orang Aceh tak pernah ditakluklan secara de facto. Salah satu bentuk dari perlawanan orang Aceh, tak lain adalah tindakan nekat nan militan yang disebut Aceh Pungo tadi.
Serangan-serangan secara nekat dan tak terstruktur atau Atjeh Moorden dalam istilah Belanda itu, pada dasarnya merupakan manifestasi dari jihad fi sabilillah.
Tindakan militan ini didorong pula oleh perasaan benci yang sangat mendalam kepada pihak Belanda. Betapa tidak, invasi Belanda ke Aceh selama masa kolonial telah banyak memakan korban.
Melalui pasukan elite mereka yang dinamakan het korps marechaussee (pasukan marsose), orang-orang Aceh, baik perempuan dan anak-anak sekali pun, dibunuh dengan tidak manusiawi saat itu.
Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyebutkan, berkisar antara 1899-1909, tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh tewas. Angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk Aceh saat itu.
Semangat jihad orang Aceh kala itu didorong pula bacaan Hikayat Prang Sabi karangan Tgk. Chik Pante Kulu. Hikayat ini berisi syair kepahlawan yang bernada heroik dan dapat membangkitkan semangat pembaca dan pendengarnya.
Hikayat Prang Sabi menjadi katalisator atau penyemangat orang Aceh untuk berperang kala itu. Sekali lagi, Atjeh Moorden, Gekke Atjeh, Aceh Pungo, atau Aceh Gila, tak lain, tak bukan, hanyalah salah satu manifestasinya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement