Liputan6.com, Banyumas - Laju industri digital semakin berpengaruh terhadap pola hidup masyarakat. Salah satu yang kini banyak digandrungi adalah gim online.
Mudahnya akses internet memungkinkan gim online diakses siapa saja, dengan usia beragam. Ini termasuk terjadi pada anak-anak.
Pada 2018 ini, organisasi kesehatan dunia WHO menetapkan kecanduan gim online sebagai gangguan mental. Bisa ditebak, kelompok paling rentan gangguan jiwa akibat gim online adalah anak-anak dan remaja.
Dokter Spesialis Jiwa RSUD Banyumas, dr Hilma Paramita Sp.Kj mengatakan di usianya, anak-anak lebih mudah terpengaruh. Secara mental, anak-anak pun belum bisa memilah atau mengendalikan keinginannya.
Baca Juga
Advertisement
Sepanjang 2018, 10 orang didiagnosa mengalami gangguan jiwa atau gangguan mental akibat gim online. Dari jumlah itu, tujuh di antaranya adalah anak-anak dengan rentang usia SD akhir dan usia SMP.
“Semakin muda, semakin rentan, tapi di usia lebih kecil lagi kan interaksi dengan ponsel atau komputer relatif lebih sedikit,” dia menerangkan kepada Liputan6.com, Rabu malam (10/10/2018).
Dari kasus gangguan mental akibat gim online yang yang ditanganinya, rata-rata pasien sudah sudah tak bisa mengendalikan diri untuk tak bermain gim online. Mereka tak lagi bisa melepas ketergantungan pada gim online.
Akibatnya, pada tahap ini, orang dengan gangguan mental akibat gim online sudah tak lagi bisa beraktivitas secara normal. Pada anak-anak, mereka sudah enggan belajar dan memilih gim online. Akibatnya, prestasi belajar pun turun.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Interaksi Sosial Berkurang Akibat Gim Online
Bahkan, keinginan untuk bermain dengan teman seumurannya pun hilang. Mereka lebih memilih berdiam diri di kamar atau ke rental komputer untuk bermain gim online.
“Di tingkat lebih parah, ada anak-anak yang udah tak mau lagi sekolah,” dia menjelaskan.
Dalam kondisi seperti ini, keluarga pun sudah tidak bisa menanganinya. Sebab, kadang kala kecanduan gim online ini sudah memicu tindakan destruktif dan bahkan mengancam keselamatan orang lain.
Dia pun memperingatkan, kecanduan gim online bisa pula memicu kenakalan remaja. Contohnya, saat uang habis untuk menyewa komputer, remaja terpicu untuk mencuri.
“Kriteria gangguan jiwa adiksi game internet atau online itu adalah akibat terlalu banyak berinteraksi gim online. Biasanya mempunyai sifat yang memicu obsesif seseorang,” ujarnya.
Menurut dia, nyaris seluruh gim online bisa menjadi pemicu gangguan mental. Akan tetapi, kecenderungannya adalah gim yang memacu adrenalin.
Dia menerangkan, terapi untuk gangguan jiwa akibat gim online di RSUD Banyumas dilakukan dengan dua cara. Pertama, diberi obat penenang agar pasien tak agresif.
Kedua, pasien diajak untuk berinteraksi dengan masyarakat secara riil. Jika masih berusia anak, maka pasien diajak untuk menjajal beragam permainan anak-anak.
Dia pun memperingatkan, kasus gangguan mental akibat gim online pada anak-anak tak mesti lantaran keluarga yang tak harmonis. Bisa saja anak tersebut berasal dari keluarga yang rukun bahagia.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement
Peran Orangtua
Hanya saja, ia bisa memastikan bahwa saat si anak bermain gim, orang tua tak memperhatikan. Akhirnya, saat sudah kecanduan gim online, orang tua sudah tak lagi bisa menanganinya.
“Ada yang dari keluarga broken home, dirawat Mbahnya. Terapinya diajak main layang-layang sama mbah dan teman-temannya,” dia mengungkapkan.
Lebih lanjut Hilma mengemukakan, internet, ponsel dan laptop kini memang jadi bagian tak terpisahkan dan telah menjadi gaya hidup. Perlahan namun pasti, interaksi riil atau offline berganti menjadi interaksi di dunia maya.
Di satu sisi, keberadaan internet memudahkan orang untuk menjangkau dunia yang lebih luas. Namun, sisi buruknya, internet membuat interaksi sosial jadi terbatas.
Pelibatan emosi amat minim dalam hubungan melalui media sosial. Hal ini berbeda dengan interaksi langsung, misalnya dengan cara saling berkunjung.
“Di situ ada ekspresi kegembiraan, tawa, sedih, yang tidak bisa diungkapkan dalam media sosial,” dia mengungkapkan.
Menurut dia, gangguan jiwa juga bisa timbul dari media sosial. Perilaku seperti merisak atau mencaci maki di media sosial bakal berpengaruh terhadap perilaku di dunia nyata.
Untuk itu, ia pun mengimbau agar masyarakat mulai membatasi interaksi dengan ponsel. Interaksi langsung dinilai akan menghindarikan orang dari gangguan mental.
“Selain itu kurangi interaksi dengan telpon pinter, beralih dengan kegiatan silaturahmi atau berinteraksi dengan orang di dunia nyata,” ucap dia, menyarankan.