Pengusaha Pelayaran Soroti Pengenaan Tarif di Pelabuhan

Pengenaan tarif yang dimaksud pengusaha pelayaran adalah tarif jasa barang dan tarif progresif.

oleh Nurmayanti diperbarui 11 Okt 2018, 15:31 WIB
Penampakan kapal besar (Direct Call) pembawa kontainer yang membawa ekspor Indonesia ke AS di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5). Produk yang diekspor berupa alas kaki, garmen, dan barang elektronik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha pelayaran yang tergabung dalam Indonesian National Shipowner’s Association (INSA) menyoroti pengenaan tarif pelabuhan yang tidak sesuai dengan praktek internasional dan tidak memiliki dasar kesepakatan antara pelayaran dan operator pelabuhan.

Ketua Umum Indonesian National Shipowner’s Association (INSA), Carmelita Hartoto mengatakan pengenaan tarif yang dimaksud adalah tarif jasa barang dan tarif progresif. Tarif jasa barang merupakan tarif yang dikenakan operator pelabuhan untuk consignee atau shipper.

"Namun pada praktek di lapangan, operator pelabuhan mengenakaannya kepada pelayaran. Alasannya, operator pelabuhan kerap memakan waktu yang lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari consignee atau shipper," kata Carmelita dalam siaran persnya, Kamis (11/10/2018).

Dia mengatakan, pelayaran harus menanggung lebih dulu beban biaya tarif jasa barang. Kemudian pihak pelayaran yang menagih kepada consignee ataupun shipper.

Bahkan, kata Carmelita, pelayaran harus menanggu lebih dulu tarif jasa barang di pelabuhan. Ini dikatakan memberatkan pelayaran karena mengeluarkan biaya lebih besar di awal. Padahal hal ini tidak lazim dalam praktik bisnis di dunia pelayaran internasional.

"Pada tarif progresif yang juga memberatkan pelayaran karena penerapannya tanpa berdasarkan service level agreement (SLA) atau service level guarantee (SLG) antara pelayaran dan operator pelabuhan. Kesepakatan SLA atau SLG dibuat dengan menimbang perfomance pelabuhan dan pelayaran," jelas dia.

Carmelita juga mengatakan bahwa jika lambatnya produksifitas pelabuhan disebabkan performance operator pelabuhan maka tarif progresif tidak bisa dibebankan kepada pelayaran. Namun jika keterlambatan akibat pihak pelayaran tentunya tarif progresif menjadi beban pelayaran.

"Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan tanpa adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan pelayaran. Kalau tidak ada SLA atau SLG, maka tarif tersebut sulit diterapkan," lanjut dia.

 

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.


Investasi Pelayaran

Penampakan kapal besar (Direct Call) pembawa kontainer yang membawa ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Carmelita juga menjelaskan jika investasi di sektor pelayaran nasional sebenarnya mengalami tren positif sejak penerapan asas cabotage pada 2005. Hal ini berdampak pada industri terkait lainnya seperti galangan, asuransi hingga sekolah pelaut.

"Untuk kondisi saat ini, fluktuasi nilai tukar rupiah yang telah mencapai sekitar Rp 15 ribu per Dolar Amerika. Tentunya berdampak signifikan terhadap iklim investasi pada semua lini bisnis, tidak hanya pada industri sektor pelayaran," jelasnya.

Salah satu dampaknya, kata Carmelita, yang dirasakan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap industri pelayaran ini seiring kenaikan sejumlah komponen untuk pembangunan atau reparasi kapal, yang masih didominasi komponen impor.

Industri pelayaran dan juga banyak bisnis industri lainnya memilih untuk wait and see menunggu kondisi stabil. Baik nilai tukar rupiah dan juga kondisi politis menjelang pemilu

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya