Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menyatakan bahwa neraca keuangan PT Pertamina (Persero) masih tetap sehat meskipun tidak menaikkan harga BBM jenis Premium.
"Pertamina bisa menanggung penugasan. artinya dia kami perkirakan masih profit," kata dia, di lokasi IMF-World Bank Annual Meeting, Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10/2018).
Perusahaan minyak dan gas (migas) pelat merah itu bahkan diyakini masih dapat mencetak keuntungan hingga akhir 2018 meskipun harga Premium tidak naik. "Sampai saat ini prognosanya masih untung," jelas dia.
Baca Juga
Advertisement
Komisaris Pertamina itu mengatakan, alasan pemerintah masih menahan harga Premium adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Sebab BBM domestik merupakan salah satu pembentuk inflasi dari komponen harga yang diatur Pemerintah (administered price).
Oleh karena itu, kenaikan Premium dapat menaikkan inflasi dari komponen administered price. Naiknya inflasi tentu akan menggerus daya beli masyarakat.
"Kalau dia (inflasi) meningkat dia bisa mengurangi daya beli. Berapa besar? ya tergantung naiknya inflasi. Selama ini kita pikirkan sebaiknya kita menjaga daya beli masyarakat. Kenapa? Karena untuk PDB Indonesia itu 56 persen berasal dari konsumsi, maka kita jaga," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DPR Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Tetapkan Kenaikan Harga Premium
Pemerintah menunda kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium. Sebelumnya ada rencana harga BBM jenis Premium naik menjadi Rp 7 ribu untuk Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900.
Anggota Komisi VII DPR, Ramson Siagian, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menetapkan kenaikan harga Premium. Ini sebab akan berdampak ke daya beli masyarakat.
"Jadi kenaikan harga Premium akan terasa oleh puluhan juta Rakyat," kata Ramson, di Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Ramson melanjutkan, daya beli yang tidak terjaga akan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan. Padahal jumlah masyarakat miskin dan hampir miskin akan terus dikurangi.
BACA JUGA
"Karena proses pemiskinan sebenarnya terjadi di masyarakat, karena masyarakat yang miskin memang disebut berkurang sesuai data BPS, tapi masyarakat yang hampir miskin juga sangat banyak, total hampir mendekati 100 juta orang," tutru Ramson.
Ramson mengatakan, untuk menghindari kenaikan Premium dan menjaga daya beli masyarakat, seharusnya pemerintah memberikan subsidi untuk BBM jenis penugasan tersebut. "Seharusnya diberikan anggaran subsidi," ujar dia.
Dia pun memandang, penundaan kenaikan harga Premium akan mengorbankan keuangan Pertamina. Sementara keuangan pemerintah tidak siap memberikan subsidi untuk Premium.
"Sehingga posisi keuangan Pertamina akan dikorbankan. Di satu sisi, posisi keuangan pemerintah tidak siap memberikan anggaran belanja subsidi untuk Premium," kata dia.
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium menjadi Rp 7.000 per liter. Penundaan kenaikan harga BBM ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Sesuai arahan Bapak Presiden, rencana kenaikan harga Premium di Jamali (Jawa, Madura dan Bali) menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900 secepatnya Pukul 18.00 hari ini agar ditunda," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi di Jakarta, Rabu 10 Oktober 2018.
Menurut Agung, penundaan dilakukan karena keputusan tersebut akan dibahas ulang, sambil menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero). "Akan dibahas ulang, sambil menunggu kesiapan Pertamina," tutur dia.
Dia mengungkapkan, dengan penundaan ini, harga Premium sama seperti sebelumnya. "Kan merupakan hasil perkembangan minyak dunia maka kemudian dinaikan, tapi kita lihat situasi kesiapan Pertamina. Kenaikan ini akan dilakukan evaluasi ulang, harganya masih sama," dia menandaskan.
Advertisement