Liputan6.com, Batam - Keberadaan suku laut di Provinsi Kepulauan Riau hingga kini masih jauh dari perhatian. Mereka pun memilih hidup nomaden. Sebagai masyarakat nomaden, suku laut hidup berkelompok dan beraktivitas di atas perahu kajang, atau perahu beratap.
Luas lautan dan banyaknya pulau-pulau kecil menjadi salah satu kebiasaan mereka terlestarikan. Sebagian dari mereka memang sudah menetap, meski sifatnya sementara.
Staf Humas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, Wahyoe Titus mengatakan, untuk bisa menemukan keberadaan suku laut, memang susah. Bahkan beberapa yang sudah menetap pun sulit untuk didata.
Baca Juga
Advertisement
"Mereka selalu bermigrasi antarpulau kepulauan di wilayah Kepri," kata Titus kepada Liputan 6.com, beberapa waktu lalu.
Melihat kehidupan suku laut atau manusia sampan ini, akan mengingatkan kita pada kerasnya kehidupan bahari. Seperti di film Waterworld yang dibintangi Kevin Costner dan Tina Majorino.
Digambarkan dalam film itu betapa ketika daratan terendam air, tanah menjadi sesuatu yang sangat berharga. Pola barter yang digunakan sebagai media memenuhi kebutuhan menempatkan sesuatu yang paling langka dan dibutuhkan menjadi paling mahal.
Dalam film Waterworld, di akhir petualangan mencari daratan memang akhirnya menemukan daratan yang sangat indah dan subur.
Namun, tempaan kerasnya bergelut dengan gelombang laut membuat Kevin Costner ingin kembali mengarungi lautan sebagai dunianya. Suku Laut kembali ke laut, menghuni dunianya.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Pengaman Pulau Kosong
Hal yang sama rupanya terjadi pada suku laut. Beberapa memang sudah berusaha untuk beradaptasi dan menetap, tapi masih banyak yang memilih mengarungi lautan, hijrah dari satu pulau ke pulau lain.
Di Bintan saja, ada sekitar 240 pulau kecil. Di perairan Bintan ini 40 pulau sudah dihuni, sementara 200 pulau tak berpenghuni.
Keberadaan suku laut seakan menjadi pengaman pulau-pulau ini dari caplokan negara tetangga karena mereka sering singgah.
Berdasarkan pantauan Liputan6.com, keberadaan suku laut mudah ditemui saat bertiup angin utara. Saat itu angin sangat kencang dan gelombang laut sangat tinggi. Ini yang kemungkinan menyebabkan mereka harus rehat dari petualangannya.
Wahyoe Titus menyebutkan, saat gelombang laut tinggi inilah, suku laut ke daratan, menemui anggota keluarganya yang sudah menetap, tersebar di banyak pulau.
"Seperti di Pulau Ngenang Batam," kata Wahyoe.
Musim angin utara ini terjadi akhir Desember. Berlangsung selama enam bulan hingga Juni. Satu semester dimanfaatkan untuk bercengkerama bersama keluarganya yang menetap di daratan.
Advertisement
Upaya Pelibatan Suku Laut
Memiliki akar tradisi bahari yang sangat kuat, kehidupan suku laut tentu sangat kental dengan hukum adat yang menginduk pada keseimbangan semesta.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam Ardi Winata menyebutkan, pemerintah Batam terus berupaya agar suku laut bisa menetap. Pendataan dan berbagai pendekatan terus dilakukan.
"Sulit karena ini terkait dengan budaya. Namun pemerintah Batam mengupayakan itu," kata Ardi.
Sebagaimana pemerintah biasanya, pendekatan dilakukan agar bisa menjadikan aset dan mengonversi menjadi bernilai ekonomis. Seperti tecermin dalam pernyataan Ardi.
"Jika upaya tersebut berhasil nantinya suku laut akan dilibatkan dalam event pariwisata Budaya," kata Ardi.
Saat ini ada beberapa pesisir di Batam yang sudah didiami suku laut. Pulau Galang, Rempang, Ngenang, Terong, Mapur adalah beberapa nama yang bisa disebutkan.
Simak video menarik berikut di bawah: