Undang-Undang Direvisi, Kamp Massal Muslim Uighur di China Dinyatakan Legal

Pemda Xinjiang, Cina, telah merevisi undang-undangnya agar dapat segera melegalisasi 'kamp interniran' yang menjadikan minoritas Muslim sebagai target pengawasan.

Oleh DW.com diperbarui 13 Okt 2018, 12:02 WIB
Warga muslim Uighur melakukan aksi protes menentang tekanan pemerintah China (AP)

Liputan6.com, Beijing - Otoritas Xinjiang di China merevisi undang-undang yang mengizinkan penggunaan "pusat pendidikan dan pelatihan" untuk memerangi ekstremisme agama.

Dalam prakteknya, pusat-pusat tersebut adalah kamp interniran di mana sebanyak 1 juta minoritas Muslim ditempatkan dalam 12 bulan terakhir. Ini menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia dan laporan-laporan LSM.

Undang-undang yang diubah menyatakan, pemerintah daerah "dapat mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan ... untuk mendidik dan mengubah mereka yang telah dipengaruhi oleh ekstrimisme."

Namun, selain mengajarkan bahasa Mandarin dan memberikan keterampilan kejuruan, petugas di pusat-pusat tersebut sekarang diarahkan untuk memberikan "pendidikan ideologis, rehabilitasi psikologis dan koreksi perilaku" di bawah klausul baru.

Beijing membantah bahwa pusat-pusat tersebut berfungsi sebagai kamp intern, dengan mengakui bahwa pelaku kejahatan ringan juga telah dikirim ke pusat-pusat tersebut.

Mantan tahanan sudah menyampaikan kepada kelompok-kelompok hak asasi bahwa mereka dipaksa untuk mengecam Islam dan dipaksa untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Partai Komunis China.

"Ini adalah pembenaran retrospektif untuk penahanan massal orang-orang Uighur, Kazakhstan, dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang," kata James Leibold, seorang sarjana kebijakan etnis Tiongkok di La Trobe University, Melbourne, Australia kepada kantor berita AP, seperti dilansir dari DW, Sabtu (13/10/2018).

"Ini adalah bentuk baru dari pendidikan ulang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak benar-benar memiliki dasar hukum, dan saya melihat mereka berebut untuk mencoba menciptakan dasar hukum untuk kebijakan ini."

Warga Uighur, Kazakhstan dan minoritas Muslim lainnya yang tinggal di luar negeri telah mengindikasikan bahwa mereka tidak dapat menghubungi keluarga mereka di China.

Pemerintah Negeri Tirai Bambu selama beberapa dekade mencoba untuk menekan gerakan pro-kemerdekaan di antara komunitas Muslim Xinjiang, yang dipicu oleh frustrasi atas masuknya pendatang dari mayoritas Han China.

Pihak berwenang juga mengklaim, ekstrimis di wilayah itu memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok teror, tetapi telah memberikan sedikit bukti untuk mendukung anggapan itu.

Undang-undang terbaru ini muncul setelah pemerintah daerah meluncurkan tindakan keras terhadap produk halal dan melarang pemakaian jilbab.

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


China Dikecam Internasional

Pria etnis Uighur di Urumqi, Xinjiang (Liputan6/Arie Mega Prastiwi)

Menyusul perubahan hukum di wilayah Xinjiang, kelompok bipartisan anggota parlemen Amerika Serikat mendesak Presiden Donald Trump untuk mengecam "pelanggaran berat" hak asasi manusia di wilayah barat laut China.

Proposal yang diajukan oleh Komisi Eksekutif Kongres untuk China menyerukan kepada Trump untuk menekan Presiden Xi Jinping, agar segera menutup apa yang digambarkan sebagai "kamp pendidikan ulang politik."

Mereka juga mengusulkan penerapan sanksi terhadap Ketua Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo, di bawah Akta Magnitsky, yang akan mencegahnya memasuki AS dan membekukan aset apa pun yang ia miliki di bank-bank AS.

"Otoritarianisme China di dalam negeri secara langsung mengancam kebebasan kami serta nilai-nilai dan kepentingan nasional kami yang paling dalam," ujar Senator Florida Marco Rubio dan perwakilan New Jersey, Chris Smith, keduanya dari partai Republik.

Pejabat kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, menyatakan keprihatinan serupa pekan lalu.

Langkah-langkah yang diusulkan oleh anggota parlemen AS datang karena ketegangan antara Washington dan Beijing terus meningkat atas sengketa tarif dan keluhan Amerika tentang kebijakan teknologi China.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya