Liputan6.com, Palu - Tidak banyak yang mengenal Desa Ramba, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi pascagempa 7,4 Skala Richter yang menerjang Kota Palu, Sigi, dan Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, 28 September lalu.
Berbeda dengan Kelurahan Balaroa dan Poboya, Kota Palu serta Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi. Tiga daerah yang tidak pernah populer di media ini, tiba-tiba menjadi perhatian publik bahkan menarik dunia internasional karena kejadian fenomenal, likuifaksi.
Desa Ramba, meski tidak menjadi korban likuifaksi, sekitar 80 persen rumah warga roboh, rata dengan tanah. Sebanyak 545 warga desa itu seluruhnya mengungsi.
Dua pekan pascagempa atau Jumat 12 Oktober 2018, sebagian kecil warga desa ini sudah berani kembali ke rumahnya dengan membangun tenda di halaman bekas rumah mereka. Sebagian lagi masih bertahan di pengungsian, seperti dilansir Antara, Sabtu 13 Oktober 2018.
Desa Ramba berjarak sekitar 40 kilometer arah selatan Kota Palu. Dalam waktu normal, menuju desa ini dapat ditempuh kurang dari satu jam. Namun pascagempa, perjalanan dari dan ke desa yang terbagi dalam dua dusun ini ditempuh hampir dua jam.
Baca Juga
Advertisement
Sepanjang jalan dari Kota Palu, banyak ditemukan tanah terbelah, jembatan rusak, bahkan tanah yang ambles. Ditambah lagi dengan rintangan palang di sepanjang jalan dengan berbagai tulisan seperti 'di sini pos pengungsi, butuh bantuan'. Kondisi ini semakin menambah lambatnya perjalanan menembus desa itu.
Jika mengikuti jalur jalan trans kabupaten, pengguna jalan tidak akan menemukan Desa Ramba, karena letaknya masuk ke dalam, sekitar dua kilometer dari jalan raya. Untuk masuk ke desa ini dapat diakses melalui Desa Walatana, juga salah satu desa korban gempa Palu.
Jalan yang terhubung ke desa ini, baru saja dibangun Pemerintah Kabupaten Sigi sehingga aspalnya masih tampak hitam legam. Beberapa ruas jalannya kini terkoyak karena gempa.
Gempa yang membawa tiga daerah di Sulawesi Tengah dalam kepungan bencana itu, membuat warga Desa Ramba mengungsi di tanah lapang.
Di atas tanah itu dibangun semacam barak pengungsi dari seng-seng bekas rumah mereka yang sudah hancur. Tempat itu dibangun secara gotong-royong.
Satu lokal barak diisi antara lima sampai delapan kepala keluarga. Dalam barak yang tingginya dapat dijangkau dengan tangan itu hanya disekat dengan kain. Bahkan ada yang tidak lagi disekat.
Di tengah-tengah tanah lapang mereka membangun tempat multifungsi. Tempat itu tidak berdinding, beralas terpal, dan atap dari seng-seng bekas yang sudah bocor.
Di tempat inilah warga shalat berjamaah, berkumpul jika ada yang hendak dimusyawarahkan, bahkan tempat tidur serta tempat untuk berbagi bahan pokok hasil sumbangan para relawan dari donasi berbagai daerah di Indonesia.
Untuk wudu, hanya tersedia satu kaleng bekas cat yang dipasangi kran. Dari kaleng itulah ratusan warga Desa Rambe antre berwudu untuk shalat jamaah.
Bertahan di Pengungsian dan Ingatan Gempa Palu
Di lokasi pengungsian tidak ada jamban sehingga warga buang hajat di sungai, sekitar 30 sampai 50 meter dari barak. Untuk sumber air bersih, para pengungsi menggali tanah. Agar tidak ambles, mereka memasukkan drum ke dalam galian itu sehingga airnya enteng ditimba. Air dari sumur itulah digunakan memasak, air minum, dan wudu.
Pada malam hari, tidak ada jaringan listrik dari PLN, kecuali satu genset kecil yang menerangi satu barak. Tiang listrik yang sebelumnya berdiri kokoh di desa ini sebagian sudah melintang di jalan dan kabel-kabelnya centang perenang.
Tidak ada warga yang menyangka, jika desa mereka pada 28 September petang berantakan karena gempa dahsyat.
Suasana kampung semakin gaduh dan penuh tangis histeris ketika empat jenazah tergeletak terhimpit tembok masjid. Petang itu masjid ramai dengan jamaah anak-anak, dewasa, dan orang tua.
Karampa, imam di desa itu sedang dalam perjalanan menuju masjid. Baru saja muazin mengumandangkan "Allahu Akbar", tanah bergoyang beberapa detik hingga akhirnya meluluhlantakkan Desa Ramba.
Menurut Karampa, saat tanah bergetar dan mengayun bangunan di atasnya, seketika jamaah berhamburan keluar. Namun empat di antaranya tertimpa reruntuhan.
"Jadi mereka yang tertimpa itu sudah posisi di luar masjid," katanya.
Satu di antara korban meninggal adalah Inka Pratiwi, siswa kelas 1 SMA. Remaja yang hanya dua bersaudara ini, beberapa jam sebelum gempa mengguncang, kedua orang tuanya baru saja membelikan sepatu baru untuk digunakan bersekolah.
Sementara para korban yang selamat justru mereka yang ada di dalam masjid. Dua di antaranya Nuzran, kelas 5 Sekolah Dasar dan Zakir, kelas 1 Sekolah Dasar. Kini keduanya tegar di pengungsian, meski Zakir mengalami luka di pergelangan kakinya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement