Daripada Illegal Fishing, Susi Tawarkan Nelayan Vietnam Investasi di RI

Selama ini nelayan Vietnam merupakan salah satu pelaku illegal fishing di Indonesia. Banyak kapal dan nelayan Vietnam yang ditangkap karena melanggar aturan.

oleh Nurmayanti diperbarui 14 Okt 2018, 15:34 WIB
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberi kuliah umum di Norwegian Institute of International Affairs (NUPI). (Dok KKP)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menawarkan pengusaha atau nelayan Vietnam untuk menanamkan investasi pada sektor perikanan di Indonesia. Tawaran ini karena selama ini nelayan Vietnam merupakan salah satu pelaku illegal fishing di Indonesia. 

Tawaran disampaikan Menteri Susi saat melakukan pertemuan bilateral dengan Deputy Minister of Agriculture and Rural Development Vietnam, Hoàng Văn Thắng pada Jumat (12/10/2018).

Pertemuan berlangsung di sela-sela Pertemuan IMF-Bank Dunia di Nusa Dua Bali. Keduanya membicarakan peluang kerja sama Indonesia dan Vietnam di industri pengolahan perikanan.

Susi mengatakan, selama ini nelayan Vietnam merupakan salah satu pelaku illegal fishing di Indonesia. Banyak kapal dan nelayan Vietnam yang ditangkap karena melanggar aturan.

Terkait ini, ketimbang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia yang sudah dilarang dan dinyatakan ilegal, Menteri Susi menawarkan Vietnam untuk berinvestasi dan mendirikan pabrik di sektor pengolahan di Indonesia.

“Sekarang untuk processing (pengolahan) bisa 100 persen ownership foreigner (kepemilikan asing). Dan di beberapa wilayah bisa dapat tax holiday, insentif bea masuk, custom, dan insentif lainnya. Jadi tidak usah jauh tangkap ikan ke wilayah Indonesia, nanti menimbulkan masalah. Jadi beli saja (kepada nelayan Indonesia), proses, kemudian produknya ekspor ke Vietnam,” ungkap Menteri Susi dalam keterangannya, Minggu (14/10/2018).

Tawaran kerja sama ini menurut Menteri Susi juga merupakan apresiasi Indonesia atas menurunnya pelanggaran illegal fishing oleh Vietnam beberapa waktu terakhir.

Cara yang sama menurutnya telah berhasil dilakukan Indonesia dan Thailand. Setelah Thailand menghentikan kegiatan penangkapan di Indonesia dan membeli bahan baku kepada Indonesia, ekspor Indonesia ke Thailand naik hampir 1.000 persen.

Selain itu, hubungan kedua negara juga menjadi lebih baik. “Jadi lebih baik kita kerja sama lebih kencang dan makin baik,” lanjutnya.

Menteri Susi mencontohkan Jembrana, Bali yang kaya dengan ikan tongkol, lemuru, mackerel, dan berbagai jenis ikan lainnya. Pasalnya dalam sehari ada sekitar 100-150 ton ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan, Jembrana.

Menurutnya ini merupakan peluang Vietnam untuk membuka pabrik pengolahan di sana. Menteri Susi juga mengatakan, di Indonesia saat ini ikan banyak dan harganya murah. Selain itu, banyak nelayan yang melakukan penangkapan sehingga Vietnam tak perlu khawatir kekurangan bahan baku.

Tak hanya di Jembrana, beberapa daerah lain di Indonesia juga sangat potensial untuk pengembangan industri perikanan. “Sekarang silakan datang ke Papua dan Maluku, itu ikannya banyak sekali. Hanya perlu pabrik dan uang untuk beli. Nelayan kita banyak,”katanya.

Terkait hal tersebut, Hoàng Văn Thắng menyatakan sepakat dengan Menteri Susi. Beberapa tahun belakangan khususnya tahun ini, pemerintah Vietnam telah memperketat pengawasan terhadap kapal-kapal yang melanggar hukum dan memberi sanksi tegas terhadap pelaku.

Tujuannya untuk mengembangkan industri perikanan yang berkelanjutan. Terlebih lagi karena Vietnam baru saja diberi kartu kuning oleh Uni Eropa karena permasalahan illegal fishing.

Namun di samping menegakkan aturan, menurutnya pemerintah Vietnam juga harus mencarikan solusi bagaimana menciptakan situasi kondusif bagi nelayan agar mereka bisa bertahan hidup.

Untuk itu, Vietnam menyambut baik tawaran kerja sama dari Indonesia. Peluang ini dapat dimanfaatkan Vietnam untuk menghasilkan produk perikanan guna memenuhi kebutuhan hidup 100 juta lebih penduduk Vietnam.

“Kalau saya kembali ke Vietnam, saya akan diskusikan dengan pengusaha-pengusaha Vietnam di bidang ini. Dan setelah ini, saya akan sampaikan apa yang kita bicarakan ini kepada Menteri kami (Minister of Agriculture and Rural Development of Vietnam),”tutur Hoàng Văn Thắng.

 


Pembahasan Lain

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan pertemuan bilateral dengan Deputy Minister of Agriculture and Rural Development Vietnam, Hoàng Văn Thắng pada Jumat (12/10/2018). Dok KKP

Tak hanya perkara illegal fishing, Indonesia dan Vietnam juga membicarakan perikanan berkelanjutan. Menteri Susi menyarankan agar pemerintah Vietnam melarang penggunaan alat tangkap trawl yang dinilai merusak lingkungan dan menghabiskan sumber daya ikan, seperti yang telah dilakukan Indonesia. Mengenai hal ini, Hoàng Văn Thắng mengaku Vietnam sudah mulai melarang penggunaan trawl terhadap nelayan dan pengusaha perikanannya.

Menteri Susi juga meminta Vietnam untuk tidak lagi membeli bibit lobster dan lobster bertelur dari Indonesia. Akiba masih tingginya permintaan dari Vietnam, banyak pengepul Indonesia yang melakukan penyelundupan. Padahal kegiatan ini sangat mengancam keberlanjutan lobster di alam.

“Bibit lobster ini belum bisa dikembangkan dengan artificial breeding, kecuali lobster air tawar yang dapat dikembangkan dengan aquaculture. Oleh karena itu, apabila tidak dijaga lobster akan punah. Lobster yang boleh dibeli adalah yang berukuran di atas 200 gram per ekor dan tidak dalam kondisi bertelur. Vietnam dapat membesarkannya hingga berukuran 800 gram. Ini demi keberlanjutan bisnis Vietnam dan Indonesia,”terangnya.

Dia menambahkan, pengambilan bibit lobster di alam telah mengurangi produksi lobster di Indonesia. “Puluhan tahun lalu dalam satu tahun tangkapan lobster bisa mencapai puluhan ribu ton, namun saat ini tinggal sekitar satu ribu ton saja. Habis lobsternya,”imbuhnya lagi.

Sebagai contoh, punahnya ikan sidat (eel) yang saat ini telah masuk Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Pengambilan glass eels di alam dan pengirimannya ke Jepang dan Korea di masa lampau telah membuatnya punah.

Terkait hal tersebut, Hoàng Văn Thắng berjanji bahwa pemerintah Vietnam akan memberikan sosialisasi kepada daerah-daerah yang masih membeli bibit lobster dan mengarahkan mereka untuk berpindah pada usaha lainnya.

“Saya pikir nanti kita perlu membuat lebih banyak pertemuan lagi antara dua belah pihak, dan nanti bisa bicarakan lebih lanjut masalah ini,”usulnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya