Filosofi Sedekah Laut, Membuang Sifat Kebinatangan

Larung kepala kerbau dalam sedekah laut misalnya, adalah simbol membuang kebodohan dan sifat-sifat kebinatangan

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 15 Okt 2018, 10:01 WIB
Sedekah laut Desa Ujung Gagak, Kampung Laut, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Penolakan gelar budaya sedekah laut mengemuka dalam banner atau spanduk provokatif yang terpasang di Cilacap, Jawa Tengah, dua hari sebelum acara rutin tahunan nelayan ini digelar.

Namun berbeda dari insiden di Bantul, Yogyakarta yang sampai berbuntut pengrusakan, di Cilacap penolakan hanya sayup terdengar dari sejumlah kelompok berupa pemasangan spanduk provokatif. Dukungan untuk gelar sedekah laut justru lebih nyaring terdengar.

Anjing mengonggong, kafilah berlalu. Meski terdengar penolakan, gelar budaya sedekah laut Cilacap sukses digelar Jumat, 12 Oktober 2018.

Ada 10 jolen yang dilarung, yakni satu jolen Tunggul dari Pemkab Cilacap, satu jolen dari HNSI Cilacap dan delapan jolen masing-masing dari rukun nelayan Cilacap.

Sesuai pakem ratusan tahun lampau, sedekah laut diawali malam Towongan. Lantas, pagi harinya, serangkaian prosesi seserahan jolen. Seserahan ini diawali prosesi penyerahan jolen Tunggul kepada sesepuh nelayan.

Tokoh Adipati Tjakrawerdaya III yang mengawali tradisi Sedekah Laut diperankan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Cilacap, Wijonardi. Sedangkan tokoh Tumenggung diperankan oleh Tukiran, seorang guru pada salah satu SD di Kabupaten Cilacap.

Terlepas dari kekuatan spriritual yang lelatarbelakanginya, sedekah laut di Cilacap merupakan salah satu agenda yang terdaftar dalam Calender of Event Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Pelaksanaannya rutin dilaksanakan setiap tahun pada hari Jumat Kliwon di bulan Sura, perhitungan kalender Jawa.

"Sedekah Laut sebenarnya event budaya seremonial. Ibarat kita melihat sesuatu zaman dulu yang diadakan saat ini. Sehingga kami berharap hal ini murni dilihat dari aspek budaya, jangan dicampur adukkan dengan agama," kata Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Cilacap, Murniyah menjelaskan.


Membuang Kebodohan dan Sifat Kebinatangan

Tetua nelayan mempersiapkan sesaji dalam sedekah laut Desa Ujung Gagak, Kampung Laut, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sedekah laut dinilai cukup efektif meningkatkan pendapatan asli daerah. Tahun ini PAD sektor pariwisata ditarget Rp 2,6 miliar dan telah terpenuhi sekitar 93 persen. Sisa waktu 3 bulan, menurut Murniyah, cukup untuk menutup target tersebut.

Pegiat pelestari budaya yang juga Pengurus Majelis Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Cilacap, Kuswanto Haryanto menilai para penolak larung atau sedekah laut tak memahami filosofi larungan sesaji.

Menurut dia, sedekah laut adalah ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan rizki sepanjang tahun dan doa-doa agar nelayan dan masyarakat diberkahi dengan keselamatan di masa mendatang.

Dia menjelaskan, adat kebiasaan nelayan ini juga mengandung filosofi luhur. Larung kepala kerbau dalam sedekah laut misalnya, adalah simbol membuang kebodohan dan sifat-sifat kebinatangan, agar manusia menjadi manusia seutuhnya.

Filosofi yang terkandung dalam larung ini lah yang menurut dia patut dipertahankan. Selain itu, adat tradisi ini pun telah menjadi bagian dari budaya masyarakat nelayan Cilacap dan berbagai daerah lainnya.

Dia mengaku prihatin ada sekelompok orang yang memasang spanduk provokatif bernada menolak sedekah laut, meski belakangan spanduk itu dicopot setelah muncul protes keras dari berbagai ormas dan elemen masyarakat lainnya. Sebab, Indonesia adalah bangsa yang beragam, dengan suku dan adat tradisi bermacam-macam.

"Itu kan bersumber pada ketidaktahuan mereka sebetulnya, menurut mereka. Itu kan hanya simbol, bahwa kita itu kan melarung itu kan menghanyutkan sifat-sifat kebodohan kita, kepala kerbau itu. Sifat-sifat kebodohan kita, sifat-sifat kebinatangan kita dilarung, dihanyutkan," dia menjelaskan.


Jolen, Pengingat Agar Manusia Tak Serakah

Warga menonton larung sedekah laut Desa Ujung Gagak, Kampung Laut, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Jolen, atau seperangkat larungan pun rupanya mengandung filosofi nan luhur. Ketua MLKI Cilacap, Basuki Raharja menerangkan Jolen berasal dari kata Ojo Kelalen, yang berarti jangan lupa dalam bahasa Indonesia.

Jolen adalah perlambang untuk mengingatkan manusia agar tidak lupa terhadap Yang Maha Kuasa atas rizki yang diterima. Sedekah laut adalah perwujudannya.

Jolen biasanya berisi kepala sapi atau kambing, terkadang kerbau, dan juga ubo rampe lain. Ubo rampe yang dilarung itu juga pertanda agar manusia tak serakah dan tetap bersyukur.

"Kenapa kepala, karena pusatnya di kepala. Sehingga manusia punya kebijaksanaan," Basuki menerangkan.

Sebelumnya, sejumlah banner atau spandukprovokatif bernada penolakan sedekah laut muncul di sejumlah titik di Cilacap. Spanduk tersebut antara lain berbunyi, “Jangan Larung Sesaji Karena Bisa Tsunami”.

Ada pula spanduk yang berbunyi “Rika Sing Gawe Dosa, Aku Melu Cilaka” (Kamu yang berbuat dosa, saya ikut celaka) dan “Sedekah Karena Selain Allah Mengundang Azab Looh” serta “Buatlah Program Wisata yang Allah Tidak Murka”.

Seluruh spanduk mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) Cilacap. Belakangan, Ketua FUI Cilacap Syamsudin mengklarifikasi bahwa FUI tak menolak sedekah laut, melainkan hanya memperingatkan agar umat Islam tak mengikuti perbuatan yang dekat dengan kesyirikan.

Spanduk provokatif ini pun lantas diturunkan atau dicopot oleh FUI sehari sebelum pelaksanaan sedekah laut usai jadi polemik dan diprotes keras oleh sejumlah ormas dan kelompok masyarakat lain.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya