Liputan6.com, Jakarta - PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) telah menyesuaikan untuk menaikkan suku bunga kreditnya. Kebijakan tersebut sebagai bentuk respons Bank Indonesia (BI) yang telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen.
Presiden Direktur CIMB Niaga, Tigor M Siahaan, mengatakan saat ini perusahaan memang sudah menaikkan suku bunga kredit untuk beberapa jenis seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Mobil (KPM).
Namun, besaran kenaikan suku bunga tersebut tidak dipukul rata untuk masing-masing jenis kredit yang ditawarkan perusahaan.
Baca Juga
Advertisement
"Tentu sudah naik, beda-beda karena kayak misalnya KPR, KPM di corporate dan lain sebagiannya ada yang kenaikan 25 bps, ada yang kenaikan 75 bps jadi tergantung dari nasabah, tergantung dari produk, tergantung dari promosi. Tidak bisa disamaratakan yang penting lihat dari incomenya," kata Tigor di Kantornya, Jakarta, Senin (15/10/2018).
"Jadi tapi apakah itu langsung berarti kenaikan langsung ke 150 bps? Tidak juga. Kita melihat pasar kita lihat risk ke adjusted return-nya juga kita lihat dari pertumbuhannya juga, tidak langsung secara otomatis kenaikan itu ditransaksikan ke nasabah," tambah Tigor.
Diketahui, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 26-27 September 2018 memutuskan untuk kembali menaikkan Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen.
Kenaikan ini merupakan yang kelima kali sepanjang 2018. BI sudah menaikkan suku bunga acuan pada Mei hingga September dengan total kenaikan 150 bps.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
OJK: Kenaikan Suku Bunga Perlu untuk Menahan Investor
Sebelumnya, Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai, kebijakan menaikan suku bunga yang dilakukan perlu dilakukan agar investor tetap bertahan di tengah ketidakpastian situasi ekonomi global saat ini.
Dia mengatakan, kondisi perekonomian dunia yang kini sedang goyang lebih banyak disebabkan faktor eksternal dibanding dari dalam negeri.
"Ada dua hal yang sangat menonjol terkait perubahan kebijakan. Pertama, normalisasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat (The Fed), kemudian kedua kebijakan pengenaan tarif oleh pemerintah Amerika Setikat kepada China dan negara lainnya," papar dia di Jakarta, Kamis 4 Oktober 2018.
Akibatnya, dia menyebutkan, hal ini berdampak cukup besar ke seluruh dunia. "Sehingga beberapa negara menyesuaikan kebijakan suku bunganya supaya investor portfolio mempunyai atau mengurangi sentimen negatif terhadap pasar keuangan di negara tersebut," tambahnya.
Dia menyatakan, investor asing yang ada di dalam negeri pasti akan pindah bila negara tidak mengikuti kebijakan. Amerika Serikat dalam menaikan suku bunga.
"Orang punya persepsi bahwa adanya pengenaan tarif akan mempengaruhi kapasitas ekspor ke Amerika di beberapa negara. Ini hanya persepsi ke depan saja," ucapnya.
Jika dilihat dari data statistik, Wimboh menyampaikan, lewat kenaikan suku bunga ini sektor perbankan dalam negeri jadi memiliki ruh yang cukup kuat lantaran punya cukup ruang yang luas untuk melakukan efisiensi.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa sisi likuiditas perbankan dalam negeri pun masih baik meski kredit tumbuh agresif. Dia mencatat, pertumbuhannya pada Agustus 2018 berada di kisaran 12 persen.
"Tapi ini karena memang dunia usaha mulai menggeliat. Harga komoditi mulai naik. Kalau dulu diperhatikan ditakutkan pertumbuhan kredit lambat karena pertumbuhan komoditi juga lambat," tutur dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement