Liputan6.com, Jakarta Upaya pemerintah mengendalikan impor barang konsumsi dinilai telah membuahkan hasil. Ini terlihat pada neraca perdagangan September yang surplus USD 227 juta. Bahkan hingga akhir tahun, necara perdagangan diyakini bisa surplus hingga USD 1 miliar.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan, upaya menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dan menstabilkan rupiah, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengendalian impor.
Baca Juga
Advertisement
"Ada kebijakan pada sisi fiskal pemerintah terus mendorong pengendalian impor itu tetap berjalan. Jika impor berkurang maka, kebutuhan dolar akan berkurang juga," ujar dia di Jakarta, Senin (15/10/2018).
Dia mencontohkan, di sisi migas di mana menjadi sumber defisit neraca perdagangan, pemerintah mengeluarkan kebijakan pencampuran minyak sawit mentah ke solar sebanyak 20 persen atau B20.
"Kita harus menyadari defisit neraca perdagangan kita itu berasal dari sisi migas. Dari situ Pemerintah mengeluarkan program untuk mengkonversi B20 agar kebutuhan impor tidak makin membesar," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah juga terus mendorong kinerja ekspor nasional. Hal ini turut berkontribusi menciptakan suplus pada neraca perdagangan.
"Pemerintah juga mendorong ekspor mengalami penguatan agar pasokan dolar juga meningkat. Kalau ini bisa seimbang, maka stabilisasi nilai tukar bisa dicapai," tandas dia.
Ada Perang Dagang, RI Surplus Perdagangan USD 6,3 Miliar ke AS
Amerika Serikat (AS) belum menghentikan serangan perang dagang terhadap beberapa negara mitranya.
Indonesia sendiri sempat terkena ancaman perang dagang, dengan dicetuskannya pencabutan status Generalized System of Preference (GSP) dari pemerintah AS.
Generalized System of Preference (GSP) ini merupakan negara yang mendapat fasilitas keringanan bea masuk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang dan miskin. AS berencana mencabut 124 tarif barang RI yang sebelumnya memperoleh GSP.
Baca Juga
Tidak hanya Indonesia, AS juga gencar melakukan serangan perang dagang dengan mitra Indonesia yaitu China. Hal ini mulanya dikhawatirkan akan merugikan Indonesia. Namun, hal ini nampaknya belum berdampak pada neraca perdagangan Indonesia terhadap AS.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan sebesar USD 0,23 miliar atau sekitar USD 227 juta. Dua negara penyumbang surplus terbesar adalah AS dan India.
Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti mengatakan, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS mengalami surplus sebesar USD 6,3 miliar. Sedangkan terhadap India surplus USD 895 juta.
"Negara yang mengalami surplus neraca perdagangan surplus yang tinggi itu India dan AS," ujar Yunita di Kantor BPS, Jakarta, Senin 15 Oktober 2018.
Yunita mengatakan, surplus Indonesia terhadap Amerika Serikat jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Sebab pada tahun lalu, surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap AS mencapai US 7,16 miliar.
"Memang kalau dibanding 2017 yang ke Amerika Serikat surplusnya mengalami penurunan. Kalau 2018 surplusnya tinggi yaitu USD 7.166 juta," jelasnya.
Sementara itu selain AS dan India, Indonesia juga mengalami surplus perdagangan terhadap Belanda. "Yang lain yang surplus itu ke Belanda sebesar USD 2.030 juta. Turun dari 2017 yang sebesar USD 2.313 juta," ujar dia.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih melebar. Defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap China mencapai USD 13,96 miliar secara tahunan pada periode Januari hingga September 2018. "Jadi makin besar dibanding 2017 yang hanya sebesar USD 10,2 miliar," kata dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement