Liputan6.com, Jakarta - Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin tak bisa berkutik. Senin malam, 15 Oktober 2018, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya. Kader Partai Golkar itu ditangkap di rumahnya Jalan Raya Citarik, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Neneng Hasanah ditangkap terkait kasus dugaan suap izin proyek pembangunan hunian Meikarta di Bekasi. Setelah diperiksa hampir 20 jam, pada Selasa (16/10/2018) malam, Neneng ditahan di Rutan Cabang KPK di K4.
Advertisement
Neneng bukanlah satu-satunya kepada daerah yang terjerat kasus korupsi. Sepanjang 2018, tercatat sudah 19 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK terkait kasus rasuah.
Mereka adalah Bupati Kabupaten Hulu Sungai Tengah H Abdul Latif, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryuminingsih, Bupati Lampung Tengah Mustafa, dan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra.
Kemudian Bupati Bandung Barat Abu Bakar, Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat, Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Wali Kota Blitar Muhammad Samnhudi Anwar, dan Bupati Kabupaten Bener Meriah Ahmadi.
Lalu ada Gubernur Provinsi Aceh Irwandi Yusuf, Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Kabupaten Labuhanbatu Pangonal Harahap, Bupati Kabupaten Lampung Selatan Zainudin Hasan, Wali Kota Pasuruan Setiyono, dan Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memastikan, lembaganya tidak akan berhenti menangkap para kepala daerah yang terbukti korupsi, meskipun sudah mulai memasuki tahapan Pemilu 2019.
Malah kata dia, KPK akan meningkatkan dua kali lipat upaya penindakan terhadap para pelaku korupsi, termasuk terhadap pemerintah dan pejabat daerah.
"Kita akan tetap menjaga daerah lewat sembilan prioritas rencana aksi. Penindakkan akan ditingkatkan dua kali dari yang sekarang menjadi 200 kasus per tahun," ujar Saut kepada Liputan6.com, Selasa (16/10/2018).
Dari kasus yang sudah ditangani, Saut mengatakan, umumnya para kepala daerah tersandung korupsi karena faktor lingkungan politik, masyarakat, dan bisnis.
"Sehingga integritasnya terganggu. Itu sebabnya KPK selalu berupaya di tengah-tengah mereka agar mereka berani jujur dengan beberapa program pendampingan," jelas dia.
Saut juga menyinggung soal ongkos politik yang sering dituding sebagai salah satu penyebab kepala daerah melakukan korupsi. Menurut dia, pembiayaan parpol oleh pemerintah dan auditnya memang perlu didiskusikan lagi.
Meski begitu, Saut enggan mengungkap apakah setelah Neneng akan ada kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang akan terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Bagaimanapun, anggota Dewan Pakar Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi menyatakan, ongkos politik memang menjadi satu hal penting dan harus dihadapi siapapun yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah.
"Sistem pemilihan kita itu membuat semua orang yang menjadi calon harus menghabiskan banyak uang," ujar Taufiq kepada Liputan6.com, Selasa (16/10/2018).
Menurut anggota Komisi III DPR ini, untuk mengikuti pemilihan bupati di wilayah Jawa saja, minimal butuh Rp 50 miliar atau Rp 30 miliar. Sementara di luar Jawa, biayanya lebih murah.
Uang tersebut antara lain untuk biaya mahar. Taufiq mengatakan, semua parpol di Indonesia meminta uang sebagai mahar, kecuali partainya.
"Jadi kepala daerah sebelum menjadi kepala daerah itu uangnya banyak habis. jadi money politics itu besar-besaran. Karena itu saat jadi anggota DPR atau pimpinan dia melakukan korupsi. Itulah yang ditangkap," papar Taufiq.
Soal ongkos politik ini juga diiyakan oleh peneliti senior bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris. Menurut dia, ada 3 faktor yang menjadi pemicu terjadinya aksi korupsi di kalangan kepala daerah.
Ketiga faktor itu yakni sistem politik secara umum dan juga sistem pemilu dan sistem pilkada, terjadinya krisis moralitas dan kriris etik pada pejabat publik, serta ongkos politik yang mahal.
"Intinya kalau sistem pemilu masih sama dengan yang lalu, hasilnya akan sama, yaitu koruptor yang akan ditangkap banyak, dengan kata lain pemerintahan yang bersih itu tidak akan kunjung dinikmati," kata Syamsuddin kepada Liputan6.com.
Untuk meminimalisasi korupsi di kalangan pejabat publik, dia mengatakan, sistem pemilu dan pilkada harus diubah dan parpol direformasi.
Menurut Syamsuddin, parpol harus benar-benar melembagakan sistem kaderisasi dan rekruitmen kader, agar pasangan calon yang maju pilkada adalah kaderpartai, bukan orang yang memiliki uang. "Ini perlu komitmen parpol sekarang," tandasnya.
Hamil dan Dinonaktifkan Golkar
Penangkapan dan penahanan Neneng membuat acara Aksi Nyata Revolusi Mental Berbasis Pembangunan Inklusif Lingkungan Korpri, yang semestinya berlangsung Selasa pagi di aula kantor Bupati Bekasi menjadi terkatung-katung. Sebab, sang Bupati yang harusnya menjadi pembicara dalam acara untuk memerangi korupsi itu, malah menjadi tersangka korupsi.
Mirisnya, Neneng dikabarkan tengah hamil saat ditangkap. Tapi, kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Neneng tidak mengeluhkan kehamilannya selama pemeriksaan.
"Tadi saat pemeriksaan oleh dokter dan pengukuran tekanan darah, tersangka (Neneng) tidak menyampaikan kondisi hamil tersebut," ujar Febri saat dikonfirmasi, Selasa (16/10/2018).
Febri memastikan, jika Neneng mengeluhkan kondisi kesehatannya, tim dokter KPK siap melakukan tindakan medis sesuai yang dibutuhkan.
Kasus suap izin proyek pembangunan Meikarta tak hanya melibatkan Neneng semata. Tercatat ada delapan orang lainnya yang dijerat dalam kasus ini.
Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Jamaludi, Kepala Dinas Damkar Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahar, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi.
Kemudian, pihak swasta bernama Billy Sindoro yang merupakan Direktur Operasional Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djajaja Purnama selaku konsultan Lippo Group, serta Henry Jasmen pegawai Lippo Group.
Perempuan kelahiran Karawang, Jawa Barat, 23 Juli 1980 itu bersama "jemaahnya" diduga menerima hadiah atau janji Rp 13 miliar sebagai imbal jasa untuk pengurusan izin lahan seluas 84,6 hektare. Tapi dari jumlah itu, diduga yang terealisasi baru sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa Kepala Dinas.
Dalam kasus ini, Neneng dan kaki tangannya berusaha mengelabui petugas penegak hukum dengan menggunakan sandi-sandi dalam transaksi suap.
Salah satu kata sandi yang digunakan adalah 'Tina Toon'. Belakangan KPK berhasil mengungkap siapa yang dimaksud Tina Toon.
"Untuk kode Tina Toon, sudah teridentifikasi orang yang dimaksud, yaitu pejabat setingkat Kasi atau Kabid di Pemkab Bekasi," kata Febri Diansyah, Selasa.
Selain Tina Toon, ada juga kode lainnya yaitu 'melvin', 'windu' dan 'penyanyi'.
"Ada beberapa kode yang digunakan, kami sudah memecahkan kode tersebut meskipun tentu belum bisa disampaikan secara rinci saat ini. Intinya nama-nama pejabat di Pemkab yang berinteraksi terkair perizinan dan suap ini, diganti dengan kode-kode tertentu. Kami duga ini bagian dari upaya menyamarkan," jelas Febri.
Neneng, yang merupakan jebolan Fakultas Kedokteran sebuah universitas di Jakarta, telah memimpin Kabupaten Bekasi sejak 2012. Pada 2017, dengan diusung Partai Nasdem, PAN, Golkar, Hanura, dan PPP, dia kembali memenangkan pilkada dan memimpin Bekasi untuk periode kedua mulai 2017-2022.
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Neneng yang dilaporkan pada 5 Juli 2018, harta kekayaannya tercatat sekitar Rp 73,4 miliar.
Terkait status baru Neneng, Partai Golkar langsung mengambil tindakan tegas. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, partainya telah menonaktifan Bupati Bekasi dua periode itu dari kepengurusan partai.
"Partai Golkar memberikan sanksi yang tegas, yaitu menonaktifkan saudara Neneng Hasanah Yasin dari kepengurusan Partai Golkar," kata Ace kepada Liputan6.com, Selasa (16/10/2018).
Partai Golkar pun merasa prihatin dan menyayangkan kejadian yang dialami kadernya, yang telah memimpin Kabupaten Bekasi sejak 2012 itu. "Partai Golkar sebetulnya sudah meminta kepada seluruh kader yang menjadi kepala daerah dan menjadi anggota dewan untuk menandatangani pakta integritas," kata Ace.
Menurutnya, pakta integritas itu berisi persetujuan kader partai atau petugas partai untuk berhenti jika terbukti melakukan tindakan korupsi.
"Dan itu sudah ditandatangani oleh seluruh kader Partai Golkar yang menjadi kepala daerah di depan ketua umum Golkar dan disaksikan oleh KPK Pak Saut Situmorang. Jadi sebetulnya kalau dilihat dari komitmen, kami sudah sangat-sangat menjaga semua kader partai untuk tidak melakukan tindakan korupsi," tegas Ace.
Advertisement
Efek Jera
Soal maraknya kepala daerah yang terjerat korupsi, Kementerian Dalam Negeri mengatakan tidak khawatir hal itu akan mengganggu roda pemerintah.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, jika seorang kepala daerah melakukan korupsi, maka akan digantikan oleh wakilnya atau pejabat yang lain sesuai aturan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
"(Kursi kepala daerah) tidak akan pernah kosong. Dalam kasus Bupati Malang dan Bupati Bekasi, siang ini Gubernur rencananya akan menyerahkan surat penugasan kepada wakil bupati," ujar Bahtiar saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/10/2018).
Kendati demikian, dia menyatakan prihatin dengan banyaknya kasus kepala daerah yang korupsi. Sebab, kata dia, fenomena ini sudah berulang-ulang terjadi padahal sistem pemerintahan dan hukum sudah cukup baik untuk mencegah kemungkinan terjadinya rasuah.
"Sistem pengawasan sudah cukup baik baik, berjenjang, bupati diawasi oleh gubernur. Ada pengawasan masyarakat, ada pers, ada aparat pengawasan dari pemerintah, pengawasan internal KPK, ada aparat penegak hukum, polisi, dan lain-lain. Dari segi sistem politik sudah luar biasa kita lakukan, tapi kenapa terulang lagi? Lebih kepada faktor integritas," tegas Bahtiar.
Menurut dia, saat ini ada pergeseran nilai pada pemerintahan daerah sehingga menyebabkan marak korupsi.
"Lebih kepada faktor personal, integritas, termasuk sistem sosial kemasyarakatan. Jangan-jangan nilai kemasyarakatan kita berubah, menganggap pejabat kita orang kaya," ucapnya.
Kemendagri, kata Bahtiar, mendukung upaya penegak hukum untuk menindak para kepala dan pejabat daerah yang korupsi, untuk memberikan efek jera.
Dia juga meyakinkan bahwa penangkapan oleh KPK maupun penegak hukum lainnya, tidak akan mengurangi animo masyarakat untuk ikut pemilihan kepala daerah. malah, kata dia, animo masyarakat ikut pilkada terus bertambah setiap tahunnya.
"Kita hormati para penegak hukum silakan saja, kalau nyata-nyata melakukan korupsi. Memang harus ditindak yang jelas-jelas berlebihan, kalau tidak rusak negara ini," Bahtiar menegaskan.
Soal efek jera, Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno juga sependapat. Karena itulah, partainya langsung memberhentikan Zumi Zola sebagai kader setelah Gubernur jambi itu ditangkap dan diitahan KPK terkait kasus korupsi.
"Langsung diberhenikan. Itu kan kita harus memberikan efek jera kepada kader-kader yang lain supaya tidak melakukan hal yang sama," ucap Eddy.
Reporter: Melissa Octavianti
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: