Liputan6.com, Banyumas - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan awal musim hujan di Banyumas, Jawa Tengah mundur sekitar dua dasarian atau 20 hari akibat El Nino. Pengaruh fenomena musiman itu disebut akan berlangsung hingga Januari 2019 mendatang.
Tak hanya sekadar menyebabkan musim kemarau lebih panjang dari biasanya, El Nino diprediksi juga akan membuat curah hujan di sebagian wilayah Jawa Tengah, termasuk di Banyumas, berada di bawah normal.
Akibatnya, sejumlah wilayah tanpa irigasi teknis atau sawah tadah hujan pun mesti menunggu musim hujan yang diperkirakan baru tiba pada akhir Oktober atau awal November 2018 mendatang.
Mundurnya musim penghujan berdampak pada mundurnya musim tanam pertama (MT 1) 2019. Pemerintah Kabupaten Banyumas juga mengimbau agar petani menanam varietas berumur pendek dan tahan cekaman kekeringan untuk mengantisipasi dampak El Nino pada akhir 2018
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyumas, Widiarso mengatakan, El Nino menyebabkan musim hujan di Banyumas mundur antara dua hingga tiga dasarian. Akibatnya, persiapan musim tanam yang normalnya dimulai pada pertengahan Oktober mesti mundur pada akhir Oktober dan November.
Baca Juga
Advertisement
“Biasanya sekarang ini sudah mulai tanam. Tapi ini kita baru mulai akhir Oktober perkiraannya,” katanya, Selasa (16/10/2018).
Soal El Nino yang diperkirakan berlangsung hingga Januari atau saat padi masih dalam masa vegetatif, Widiarso juga mengimbau agar petani menanam varietas yang tahan kekeringan. Salah satunya, Ciherang.
Varietas ini pada awalnya adalah padi yang dipersiapkan ditanam di ladang. Namun, pada perkembangannya, ternyata jenis padi ini juga bagus ditanam di sawah. Karenanya, ia mengimbau agar petani menanam jenis padi jenis ini.
Ciherang juga berumur lebih pendek, sekitar 115 hari panen. Dengan demikian, petani bisa menghemat waktu tanam MT 1 untuk persiapan MT 2 2019 yang diperkirakan tiba pada Maret dan April 2019.
"Karena itu pada dasarnya varietas-varietas itu dulunya untuk padi gogo. Jadi dia lebih tahan terhadap kekurangan air," katanya, menjelaskan varietas yang dinilai resisten terhadap kekurangan air akibat El Nino.
Pola Tanam dengan Sistem Pengairan Berselang
El Nino hingga Januari juga membuat petani mesti petani mengubah pola pertanian dengan metode pertanian hemat air. Caranya yakni dengan sesekali mengeringkan lahan mengikuti pola cuaca yang terpengaruh El Nino.
Dia pun mengakui, pola ini memiliki kelemahan, yakni pertumbuhan gulma akan bertambah cepat. Akan tetapi, dengan perawatan dan pendangiran intensif, menurut dia, hasil panen yang didapat pun tak kalah dengan sawah yang airnya cukup.
"Varietas Ciherang itu lebih resisten. Kelemahannya, perkembangan gulma lebih banyak jadi harus dikelola lebih intensif," dia menerangkan.
Di luar dampak negatif El Nino yang menyebabkan musim penghujan mundur, musim kemarau lebih panjang juga berakibat positif. Kemarau lebih panjang memastikan perkembangbiakan hama dan penyakit beserta inangnya benar-benar terputus.
Hal ini berbeda jika kemarau basah dan pendek. Penyakit masih berpotensi muncul pada musim tanam berikutnya meski sudah disela dengan tanaman palawija.
"Contohnya, kalau yang tidak pernah terputus itu, penyakitnya akan bertambah banyak," ujarnya.
Dia menambahkan, di Banyumas ada sekitar 16 ribu hektare lahan yang perpengaruh curah hujan. Yakni, 10 ribu hektare sawah dan 6 ribu hektare ladang yang biasa ditanami padi gogo. Dari 10 ribu hektare itu, sekitar tujuh ribu hektare merupakan lahan tadah hujan.
Adapun lainnya adalah lahan yang teraliri irigasi namun sungainya sangat bergantung pada cuaca. Secara total, Banyumas memiliki lahan sawah sekitar 32 ribu hektare.
Pada 2018 ini, ada sekitar 4.000 hektare di kawasan lereng Gunung Slamet yang tak pernah putus panen. Karenanya, ia menjamin ketahanan pangan Banyumas.
"Kita di Bulog informasi terakhir tersedia 40 ribu ton beras. Kita masih aman," dia menambahkan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement