Studi: Bencana Kekeringan Lebih Menyengsarakan daripada Perang di Afghanistan

Beberapa studi menyebut rakyat Afghanistan lebih menderita akibat kekeringan, dibandingkan perang antara Taliban dan pemerintah.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 17 Okt 2018, 11:04 WIB
Kekeringan melanda Afghanistan, emnyebabkan rakyat lebih menderita dibandingkan perang (AP)

Liputan6.com, Kabul - Beberapa laporan swasta mengatakan bahwa kekeringan akut di Afghanistan lebih menyengsarakan rakyat dibandingkan perang dengan kelompok Taliban.

Laporan itu juga menyebut bahwa kekeringan telah membuat jumlah masyarakat yang telantar meningkat hampir 50 persen sejak dua silam.

"Kami haus dan lapar. Kami mengambil apa yang kami bisa (makan), dan rela kehilangan sebagian besar harta benda. Sekarang kami tidak punya apa-apa. Delapan dari kami tinggal di tenda kecil ini," kata Shadi Mohamed (70), seorang warga pinggiran kota Herat di barat Afghanistan, dikutip dari BBC pada Rabu (17/10/2018).

"Istri dan beberapa anak saya telah meninggal. Sisa anak saya sebagian ada di sini mencari air, sebagian lainnya tinggal di tenda," kata dia pilu.

Mohammed adalah salah satu dari sekitar 260 ribu orang tersingkir dari kampung halaman mereka di utara dan barat Afghanistan, setelah bencana kekeringan terus melanda selama setahun terakhir.

Kekeringan menambah penderitaan di Afghanistan, di mana tingkat kekerasan dilaporkan meningkat sejak 2014, ketika pasukan internasional secara resmi mengakhiri misi tempur mereka.

Taliban sekarang dilaporkan mengendalikan lebih banyak wilayah di Afghanistan dibandingkan ketika invasi pimpinan AS melemahkan mereka pada 2001.

Akan tetapi, PBB mengatakan bahwa tahun 2018 ini, kekeringan telah membuat lebih banyak orang Afghanistan menderita, daripada yang disebabkan konflik antara Taliban dan pemerintah.

Qadir Assemy dari Program Pangan Dunia PBB (UNWFP) membantu mengoordinasikan upaya bantuan di Herat, salah kota yang paling terdampak bencana kekeringan.

PBB mengalokasikan dana US$ 34,6 juta (setara Rp 552 milair, dengan kurs Rp 15.179 per dolar AS) untuk membantu 2,2 juta orang yang menderita dampak kekeringan di Afghanistan.

Saat ini, UNWFP mengutamakan pendistribusian dana bantuan tersebut untuk mencukupi kebutuhan pangan dasar warga di wilayah barat Afghanistan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Pemerintah Dikeluhkan oleh Rakyat

Asap mengepul dari rumah yang diduga merupakan tempat persembunyian tersangka pelaku serangan bom di Kabul Afghanistan, 21 Agustus 2018. (AP)

Di luar upaya penanggulangan bencana kekeringan, banyak orang --khususnya wanita dan anak-anak-- putus asa dan tidak tahu harus berbuat untuk bisa bertahan hidup.

Banyak dari mereka terpaksa berjalan jauh menuju pusat pemerintahan terdekat untuk mengantre bantuan, yang jumlahnya terbatas dan sering kali terkendala kacaunya pengaturan distribusi.

"Jika kami punya uang, kami tidak akan pernah datang ke sini. Nasib buruk yang membawa kami ke sini," kata Fatima, seorang wanita, yang mengantre bersama dua anaknya.

"Tidak ada hujan selama lebih dari setahun. Semuanya kering. Saya bahkan tidak punya air untuk diberikan kepada anak-anak. Belum lagi ada pertempuran antara Taliban dan tentara pemerintah. Ini benar-benar kacau," dia melanjutkan.

Beberapa warga lain menceritakan betapa mereka terpaksa menjual ternak mereka dengan harga murah demi bisa membeli cukup makanan. Tidak jarang berutang pun jadi pilihan terbaik, meski risiko bunga fluktuatif oleh rentenir mengancam ketahanan ekonomi warga di kemudian hari.

Saat ini, Afghanistan sedang mempersiapkan pemilihan parlemen jangka panjang yang dijadwalkan berlangsung pada 20 Oktober nanti.

Namun, banyak warga lokal mengeluh bahwa para calon pemimpin mereka seakan lupa tentang masalah yang ada di depan mata, dan sibuk saling menjatuhkan. 

UNWFP memperingatkan kepada pemerintah Afghanistan untuk memperhatikan kondisi warga saat menghadapi musim dingin.

"Cuaca akan sangat keras. Populasi ini tidak akan dapat bertahan hidup di tenda-tenda," kata salah seorang juru bicara UNWFP.

"Kami belum melihat bencana berskala besar dalam 18 tahun terakhir, ini benar-benar memilukan," lanjutnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya