Liputan6.com, New York - China memangkas kepemilikan surat berharga atau obligasi Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2018 sekitar USD 6 miliar ke level terendah sejak Juni 2017.
Kepemilikan China di surat berharga, notes dan surat utang turun menjadi USD 1,16 triliun dari posisi Juli sekitar USD 1,17 triliun. Ini bulan ketiga penurunan, dan di bawah posisi tertinggi pada awal tahun di kisaran USD 1,2 triliun.
Pelaku pasar obligasi melihat China intensif mengurangi kepemilikan surat berharga AS. Ini seiring ketegangan perang dagang dengan Amerika Serikat. Akan tetapi, pelaku pasar tidak percaya kalau pengurangan itu berarti. Hal itu terjadi pada saat volatilitas mata uang terjadi pada musim panas lalu.
Baca Juga
Advertisement
"Kenyataan yang Anda lihat melambat cenderung turun tidak mengejutkan. Kepemilikan China sekarang terendah sejak Juni 2017 ketika di posisi USD 1,147 triliun,” tutur Jon Hill, US Rates Strategis BMO, seperti dikutip dari laman CNBC, Rabu (17/10/2018).
China termasuk pemegang surat utang terbesar AS. Diikuti Jepang yang juga mengurangi kepemilikannya pada Agustus. Kepemilikan Jepang turun menjadi USD 1,03 triliun pada Juli.
"Ini adalah sesuatu yang banyak orang perhatikan untuk memberikan kepentingannya bagi pasar. Saya akan ragu menarik terlalu banyak perbandingan pada 2015 dan 2016 karena penurunan jauh lebih moderat dan lambat dari yang kita lihat sebelumnya,” ujar Hill.
Pada Juli, kepemilikan China di surat utang, nota dan obligasi AS turun ke posisi terendah dalam enam bulan di posisi USD 1,171 triliun dari posisi Juni di kisaran USD 1,178.
"Pasar treasury berkembang didorong pemerintah lebih banyak keluarkan treasury. Jadi pembeli atau investor asing masih signifikan tetapi secara keseluruhan relatif. Pangsa pasar treasury menurunan dalam beberapa tahun,” ujar Boris Rjavinski, Rate Strategist Wells Fargo.
China Kurangi Kepemilikan, Rusia Beli Surat Utang AS
Sebelumnya, China melepas surat utang atau obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan sinyal jelek untuk ekonomi AS dengan kepemimpinan Donald Trump.
Berdasarkan data yang dirilis Departemen Keuangan, kepemilikan China atas obligasi atau surat utang AS turun USD 66 miliar pada November 2016 menjadi USD 1,05 triliun. Ini enam bulan berturut-turut China mengurangi kepemilikan surat berharga AS.
Sejak Mei, kepemilikan China atas surat utang AS turun hampir USD 195 miliar. Jepang pun menjadi pemegang terbesar atas utang AS pada Oktober. Meski demikian, Jepang juga mengurangi kembali kepemilikan surat berharga AS pada November sebesar USD 23,3 miliar menjadi USD 1,11 triliun.
Ini keempat kalinya Jepang menarik kembali utang AS serta memangkas sekitar USD 46 miliar sejak Juli. Aksi jual ini dimulai sebelum Trump mengalahkan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden. Oleh karena itu, tidak jadi alasan kalau China dan Jepang melepas obligasi AS hanya karena Trump.
Namun, percepatan penjualan surat berharga pada November dapat menjadi indikasi lain kalau kebijakan stimulus yang diusulkan Trump akan meningkatkan pertumbuhan. Hal ini dapat membuat obligasi menjadi tidak menarik. Demikian mengutip laman CNN Money, seperti ditulis Selasa 24 Januari 2017.
Imbal hasil surat berharga akan naik ketika investor menjual obligasi. Pemegang obligasi akan melepas obligasi AS ketika mereka yakin ekonomi membaik. Saat pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, obligasi menjadi investasi kurang menguntungkan dibandingkan dengan saham.
Jadi tingkat suku bunga akan lebih tinggi jika stimulus Trump akan sukses. Imbal hasil surat berharga tenor 10 tahun mencapai 2,62 persen pada pertengahan Desember 2016. Ini level tertinggi sejak September 2014. Kemudian imbal hasil turun dan berada di kisaran 2,45 persen.
Ini menunjukkan ada pembelian obligasi dalam beberapa minggu terakhir. Namun tak semua pemerintahan lainnya melepas surat berharga AS. Irlandia, Brazil, Inggris dan Arab Saudi meningkatkan kepemilikan surta berharga. Demikian juga Rusia meningkatkan posisi kepemilikan surat berharga sekitar USD 12 miliar.
Akan tetapi, nilai kepemilikan surat utang negara-negara itu masih kecil ketimbang China dan Jepang. Oleh karena itu, perlu diperhatikan China dan Jepang mungkin menjual obligasi karena membutuhkan uang tunai untuk mendukung ekonomi domestik negara tersebut.
Apalagi China berusaha untuk meningkatkan nilai mata uangnya, yuan, agar membuatnya lebih menarik di pasar global. Terkait dampak kenaikan suku bunga bank sentral AS terhadap imbal hasil obligasi, hal itu diperkirakan dapat membantu mendorong imbal hasil obligasi lebih tinggi.
Bill Gros, analis obligasi Janus, menyatakan, imbal hasil obligasi akan lebih tinggi terutama pada awal pemerintahan Donald Trump. Namun perlu dicermati juga kebijakan bank sentral Jepang dan Eropa yang tetap mempertahankan suku bunga rendah. Ini juga akan memberi tekanan untuk suku bunga AS.
Demikian stimulus Trump. Gross mengatakan, imbal hasil obligasi AS akan berada di kisaran 2,6 persen dan merupakan kunci utama untuk pasar obligasi. Jika tingkat suku bunga lebih tinggi lagi, maka akan menekan pasar obligasi, dan investor akan menjual obligasi AS seiring bunga tinggi.
"Perhatikan level 2,6 persen. Ini lebih penting dari Dow Jones di level 20.000, dan lebih penting dari harga minyak lebih dari USD 60 per barel, dan lebih penting dari dolar AS dan euro. Ini kunci untuk tingkat suku bunga dan saham pada 2017," tulis Gross.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement