Liputan6.com, Tegucigalpa - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan memotong bantuan senilai jutaan dolar ke Honduras, jika negara itu gagal menghentikan ekosodus lebih dari 2.000 imigran. Para imigran ini melarikan diri dari kekerasan dan kemiskinan, serta berusaha mencapai perbatasan Negeri Paman Sam.
Polisi Guatemala menahan juru bicara kelompok imigran itu pada Selasa, 16 Oktober atau sehari setelah rombongan itu mengabaikan peringatan dari pemerintah setempat, dan tetap melintasi perbatasan dari Honduras.
Dikutip dari The Guardian, Rabu (17/10/2018), Honduras adalah sekutu kunci Washington di Amerika Tengah, dan pasukan AS telah ditempatkan di negara itu sejak 1954.
Baca Juga
Advertisement
Bartolo Fuentes, mantan anggota kongres Honduras yang merupakan salah satu penggerak eksodus terkait, ditangkap beberapa jam setelah Trump mengetwit "AS telah memberi tahu Presiden Honduras bahwa jika Caravan (eksodus) besar orang-orang (imigran) tidak dihentikan dan dipaksa pulang, tidak ada lagi uang atau bantuan yang akan diberikan!"
Tahun lalu, AS memberi Honduras bantuan setidaknya US$ 181 juta (setara Rp 2,7 triliun, dengan kurs Rp 15.186 per 1 dolar AS), untuk membiayai program penumpasan perdagangan narkoba dan pengentasan kemiskinan, kata Washington Office for Latin America, sebuah kelompok think-tank yang berbasis di Washington DC.
Pada Selasa malam, pemerintah Honduras mendesak warganya untuk tidak bergabung dengan rombongan imigran, yang dikatakannya sebagai "mobilisasi tidak teratur" pemicu ketidakstabilan di Amerika Tengah.
Tidak jelas apa lagi yang bisa dilakukan Presiden Honduras, Juan Orlando Hernandez, mengingat bahwa imigrasi bukanlah kejahatan, dan eksodus imigran itu sudah ada di Guatemala.
Eksodus imigran berangkat dari kota San Pedro Sula pada Jumat, 12 Oktober, dalam upaya untuk melakukan perjalanan darat sepanjang 3.000 mil (setara 4.828 kilometer) menuju AS.
Simak video pilihan berikut:
Paling Sering Dikunjungi Pasukan Khusus AS
Honduras adalah negara termiskin kedua di Amerika Latin, setelah Haiti, dan diketahui sebagai salah satu yang paling berbahaya di dunia.
Arus imigrasi paksa telah melonjak sejak kudeta yang didukung militer pada 2009, melepaskan gelombang kejahatan terorganisasi, kekerasan dan proyek besar yang merusak lingkungan.
Miriam Miranda, seorang pemimpin kelompok etnis Afro-Honduras Garifuna, mengetwit: "#migrantcaravan adalah hasil dari penghancuran institusi negara dan transfer sumber daya ke mafia politik dan ekonomi, dan investor asing yang mengontrol Honduras."
Sejak kudeta, Honduras berperan sebagai negara transit utama untuk pengiriman kokain dari Amerika Selatan menuju pasar AS.
Untuk menekan perdagangan obat terlarang via Amerika Tengah, AS mendorong sikap aktif Honduras melalui bantuan keamanan senilai US$ 230 juta, atau setara Rp 3,4 triliun.
Selain itu, Honduras juga menjadi negara yang paling sering dikunjungi oleh pasukan khusus AS di belahan barat, dengan 21 misi antara tahun 2008 dan 2014.
Eksodus imigran, yang mencakup sejumlah bayi dan anak, bermalam di kota perbatasan Guatemala, Esquipulas, tempat orang-orang setempat menyumbangkan makanan dan air.
Pada Selasa pagi, para imigran melanjutkan perjalanan mereka ke utara, menuju perbatasan AS via Meksiko.
Advertisement