Liputan6.com, Yogyakarta - Satai Kere Pak Panut Klajuran Godean Sleman menjadi bukti makanan nikmat dan sarat gizi tak selalu menguras kocek. Siapa yang tidak akan tergiur jika melihat satai sapi disajikan dengan sayur sambal goreng tempe dan ketupat.
Perpaduan rasa manis satai yang dibakar dengan kecap bercampur gurihnya kuah sayur sambal goreng tempe lalu dikunci dengan irisan ketupat. Hasilnya, lidah bergoyang sekaligus perut kenyang.
Harganya mengejutkan, dengan membayar hanya Rp 10 ribu seporsi, satai kere sudah bisa dinikmati. Banyak orang yang baru pertama kali datang tidak percaya. Bagaimana mungkin, seporsi makanan lezat yang membuat kenyang tahan lama harganya semurah itu?
Baca Juga
Advertisement
Sepiring penuh ketupat dengan sayur sambal goreng tempe ditambah enam tusuk satai sapi yang setiap tusuknya berisi dua iris daging dan satu iris gajih bisa menjadi alternatif santap malam. Namun, apabila pengunjung memilih untuk tidak memakai ketupat, jumlah satai dalam seporsi satai kere menjadi 10 tusuk.
Menyambangi lokasi satai kere Pak Panut Klajuran memang perlu perhatian khusus. Sebab, warung di tepi utara jembatan Klajuran ini belum terlacak di Google Maps.
Sebagai acuannya, satai kere Pak Panut berlokasi sekitar 9 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Pengunjung bisa sampai dengan menuju ke arah barat atau tepatnya di Jalan Godean Km 8. Warung satai kere Pak Panut terletak di tepi jalan atau kanan jalan jika perjalanan dimulai dari kota Yogyakarta.
Tepat di sebelah papan bertuliskan Pedukuhan Klajuran, warung satai kere Pak Panut buka mulai pukul 17.00 sampai 23.00 WIB.
Setiap hari, ia bisa menjual 1.500 tusuk satai kere atau sekitar 150 porsi per hari. Saat musim liburan, penjualan satai kere meningkat sampai dua ribu tusuk per hari.
Istilah Satai Kere Muncul dari Pelanggan
Saat ini, satai kere Pak Panut dikelola oleh generasi ketiga. Iswanti (38) meneruskan usaha yang dijalankan turun-temurun oleh keluarganya. Pertama kali, orangtua dari ayahnya yang berjualan satai kere, kemudian diteruskan oleh sang ayah yang bernama Panut pada 1988.
"Istilah satai kere waktu itu belum ada, sebutannya ya satai kupat sayur," ujar Siis, sapaan akrab Iswanti, kepada Liputan6.com, Selasa (16/18/2018).
Ia mengaku tidak tahu pasti bagaimana istilah satai kere muncul. Siis hanya ingat ketika masih duduk di bangku sekolah, salah seorang kawannya menjulukinya anak bakul (penjual) satai kere.
Siis menilai, kemungkinan karena irisan dagingnya yang tipis-tipis membuat pelanggan menamainya satai kere.
Sebenarnya, istilah satai kere di Yogyakarta ada dua. Secara umum, orang mengenal satai kere identik dengan satai gajih yang biasa dijual di Sekaten atau pasar malam. Akan tetapi, satai kere Godean identik dengan satai kupat sayur yang sangat layak menjadi makanan berat.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement