Liputan6.com, Canberra - Sebuah kapal nelayan berukuran 19,5 x 4 meter berangkat dari Bandar Lampung menuju Christmas Island, Australia. Bahtera yang tak seberapa besar itu disesaki sekitar 421 imigran yang memendam harap, untuk bersatu kembali dengan keluarganya, memulai kehidupan baru di Negeri Kanguru, dan terutama, mendapatkan kebebasan.
Mayoritas datang dari Irak, juga Afghanistan, Iran, Palestina, Aljazair negeri-negeri yang terkoyak oleh konflik. Sekitar 36 jam setelah angkat sauh, tiba-tiba badai menerjang. Sejumlah perempuan hamil melahirkan secara prematur di atas kapal yang sedang terombang-ambing liar itu.
Baca Juga
Advertisement
Salah satunya kali terakhir terlihat sedang terseret arus deras, dengan bayi merah yang masih tersambung tali pusat, saat kapal itu pecah dan karam di perairan internasional, sekitar 70 kilometer di selatan Pulau Jawa.
Sebanyak 353 orang di dalamnya tamat di lautan. Mereka yang tewas terdiri atas 146 anak-anak, 142 perempuan, dan 65 pria. Empat puluh satu orang yang selamat bergantung nyawa di puing-puing hingga 20 jam lamanya, sebelum diselamatkan kapal nelayan Indah Jaya Makmur dan Surya Terang.
Tragedi itu tak lekang dari ingatan Amal Hassan Basry. Perempuan asal Irak itu bahkan mengingat kapan persisnya kapal yang ia tumpangi tenggelam, pada 19 Oktober 2001, pukul 15.01 -- kala jarum di jam tangan para pencari suaka berhenti di waktu tersebut.
"Saat sedang menanti ajal, aku melihat semuanya," kata Amal kepada penulis bernama Arnold Zable pada 2004, seperti dikutip dari situs The Age, Kamis (18/10/2018).
"Aku seakan seperti kamera. Aku masih bisa mendengar teriakan, jeritan. Aku melihat orang-orang tenggelam. Gerbang neraka terbuka."
Amal beruntung bisa selamat. Pasca-kejadian, ia menetap di Melbourne, Australia. Pun dengan seorang bocah 8 tahun yang kehilangan 21 anggota keluarganya. Hanya 44 orang yang berhasil dievakuasi dalam kondisi bernyawa.
Sejumlah orang menyamakan tragedi kapal tanpa nama itu dengan Titanic. Sementara, pemerintah Australia menyebutnya sebagai SIEV X -- Suspected Illegal Entry Vessel X.
SIEV adalah akronim yang digunakan aparat pengawasan untuk kapal-kapal yang masuk ke perairan Australia tanpa izin alias ilegal.
"Ini adalah tragedi dalam proporsi monumental," kata Menteri Imigrasi Australia, Philip Ruddock, seperti dikutip dari New Zealand Herald.
Ia menambahkan, kapal pengangkut imigran nahas itu dirancang untuk mengangkut maksimal 150 orang. Hanya sekitar 20 orang yang menolak naik karena merasa terancam bahaya.
Sementara itu, organisasi migrasi internasional atau International Organisation for Migration (IOM) mengaku, tragedi itu tak mengejutkan. "Melihat cara para penyelundup manusia itu mengangkut para imigran."
Para penyintas, yang mengalami patah tulang dan luka akibat karang tajam dirawat di sejumlah rumah sakit di Bogor dan Jakarta.
Saksikan video terkait Australia berikut ini:
Kontroversi
Secara politis, tragedi itu kontroversial di Australia. Sebab, momentumnya bertepatan dengan kampanye pemilu federal -- ketika soal para pencari suaka dan perlindungan perbatasan menjadi isu besar.
Pemerintahan Perdana Menteri John Howard kala itu menerapkan aturan ketat terkait pencari suaka.
PM Howard mengklaim kebijakannya akan mencegah orang menyelundupkan manusia dan menghentikan perahu pencari suaka sebelum memasuki Australia. Pemerintah mengeluarkan instruksi kepada Angkatan Laut Australia dan Polisi Federal Australia (AFP) untuk mencegah setiap kapal pengungsi mencapai Negeri Kanguru.
Sejumlah rumor dan teori pun menyeruak. Salah satunya soal dugaan bahwa Pemerintah Australia sengaja menyabotase kapal SIEV X yang penuh imigran.
Namun, pemerintah di Canberra membantah segala tuduhan dan sangkaan yang dialamatkan pada mereka. Kata mereka, tak ada sabotase.
Selain tenggelamnya kapal imigran di dekat Indonesia, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada tanggal 19 Oktober.
Pada 1812, mimpi Napoleon Bonaparte untuk menaklukkan Rusia harus sirna. Ia dan pasukannya takluk oleh kombinasi pasukan Kekaisaran Rusia, cuaca dingin, serta kelaparan yang membawa nestapa.
Sementara, pada 19 Oktober 1796, Presiden AS Thomas Jefferson dituduh memiliki hubungan gelap dengan salah seorang budak perempuan.
Meski tak menyebut nama, Jefferson dituduh memiliki hubungan dengan Sally Hemings, yang merupakan salah satu budak miliknya.
Perempuan itu berkulit campuran -- bisa jadi ia adalah saudara tiri mendiang istrinya, Martha Jefferson.
Sementara, pada 2013, setidaknya 105 orang mengalami luka-luka dalam kecelakaan kereta yang terjadi di Buenos Aires.
Pada 1987 terjadi Tragedi Bintaro, dua kereta api lokal yang ditarik lokomotif diesel, di jalur Jakarta-Serpong saling bertabrakan
Sebanyak 156 orang meninggal dunia, ratusan lainnya luka-luka. Iwan Fals mengabadikan tragedi ini dalam lagunya yang berjudul 1910 dan Ebiet G. Ade mengabadikannya dalam lagu Masih Ada Waktu.
Advertisement