Pengusaha Ingin Paslon Capres-Cawapres Tak Politisasi Para Buruh

Politisasi serikat buruh bisa menganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 18 Okt 2018, 18:39 WIB
Pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Jakarta, Minggu (23/9). Deklarasi menandai dimulainya masa kampanye Pemilu 2019. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha ingin agar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden berhenti mempolitisasi buruh dan pekerja Indonesia. Sebab, politisasi pekerja hanya akan merugikan dunia usaha.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, politisasi serikat buruh dan pekerja tentu akan berdampak pada terganggunya kepentingan yang lebih besar, yakni mempertahankan iklim usaha yang kondusif. 

Selain itu, politisasi serikat buruh juga bisa menganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kalau situasi itu terjadi, ekonomi kita tidak tumbuh. UKM juga tidak tumbuh karena pada takut," kata dia saat ditemui di Djakarta Theater XXI, Jakarta, Kamis (18/10/2018).

"Kita menghadapi masalah yang lebih besar dari sekadar siapa calon presiden kita. Masalah ekonomi jauh lebih besar," ucap Danang.

Karena itu, kata dia, hal tersebut juga kerap dia sampaikan dalam kesempatan bertemu dengan tim kampanye dari kedua pasangan capres-cawapres.

"Di diskusi lebih besar saya sampaikan kepada kedua tim kampanye pasangan calon agar tidak menggunakan isu-isu buruh, tenaga kerja, untuk membuat polarisasi yang berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi," ucapnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu 

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Buruh Tuntut UMP 2019 Naik 25 Persen

Massa buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyemut di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (10/11). Puluhan ribu buruh berunjuk rasa menuntut agar UMP di Jakarta direvisi dari Rp3,6 juta menjadi Rp3,9 juta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 atau UMP 2019 sebesar 25 persen. Angka ini jauh di atas kenaikan yang telah ditetapkan sebesar 8,03 persen.

Presiden KSPI, Said Iqbal, menyatakan pihaknya menolak kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen sebagaimana yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan dalam surat edaran tertanggal 15 Oktober 2018.

Dia menuturkan, kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen akan membuat daya beli buruh jatuh. Hal ini karena kenaikan harga barang, antara lain beras, telur ayam, transportasi (BBM), listrik, hingga sewa rumah, kenaikannya lebih besar dari 8,03 persen. 

Lebih lanjut dia menegaskan, idealnya kenaikan upah minimum pada 2019 adalah sebesar 20 hingga 25 persen. Kenaikan sebesar itu didasarkan pada hasil survei pasar kebutuhan hidup layak yang dilakukan FSPMI-KSPI di beberapa daerah.

"Kenaikan upah minimum sebesar 20-25 persen kami dapat berdasarkan survei pasar di berbagai daerah seperti Jakarta, Banten, Bekasi-Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sumatera," ujar dia di Jakarta, Kamis (18/10/2018).

Oleh karena itu, Said meminta agar kepala daerah mengabaikan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan dan tidak menggunakan PP 78/2015 dalam menaikkan upah minimum.

"Sebab, acuan yang benar adalah menggunakan data survei Kebutuhan Hidup Layak sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," kata dia.

‎Sebagai informasi, kenaikan 8,03 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menetapkan formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi.

Sejak diterbitkan pada 2015, KSPI sudah menolak PP 78/2015 karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ini, kenaikan upah minimum salah satunya berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya