Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI angkat bicara soal pemberitaan media Australia yang melaporkan bocornya isi pembicaraan Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Marise Payne. Pembicaraan itu berisi soal keberatan Indonesia atas rencana Canberra untuk memindahkan kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pemberitaan itu dipublikasi oleh Channel 7 Australia pada 17 Oktober 2018, sehari setelah PM Australia Scott Morrison mengumumkan rencana pemindahan itu pada Selasa 16 Oktober --pengumuman itu pun memicu kritik dari Palestina dan Indonesia pada hari yang sama.
Baca Juga
Advertisement
Dalam melaporkan pemberitaannya, Channel 7 mengutip potongan pembicaraan yang mereka klaim berasal dari Menlu Retno kepada Menlu Payne via aplikasi layanan pesan singkat. Media itu berdalih, potongan pembicaraan itu mereka peroleh dari narasumber anonim.
Potongan pembicaraan yang diveritakan oleh Channel 7 itu bertuliskan:
"Is this really necessary to do this on Tuesday", kata Menlu Retno kepada Menlu Payne sebagaimana diberitakan oleh Channel 7 yang dikutip dari The Australian.
'Tuesday' atau Selasa, bertepatan dengan hari di mana Menlu Retno menerima kunjungan Menlu Palestina Riyad al-Maliki, pada tanggal 16 Oktober 2018.
"It will be a really big blow," lanjut isi potongan pembicaraan itu.
"It will slap Indonesia’s face on the Palestine issue," dan diakhiri dengan, "This will affect bilateral relations."
Pihak Kemlu RI, pada 16 Oktober, memang membenarkan bahwa Menlu Retno menjalin komunikasi dengan Menlu Payne soal isu pemindahan kedutaan Australia ke Yerusalem.
"Presiden Joko Widodo telah berkomunikasi dengan PM Scott Morrison, begitu juga Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Marise Payne tentang isu tersebut (pemindahan kedutaan) pada pagi hari ini (16/10)," kata Juru Bicara Kemlu RI, Arrmanatha Nasir, 16 Oktober 2018.
"Komunikasi itu dilakukan untuk meminta klarifikasi Australia dan juga menyampaikan posisi serta pandangan Indonesia terkait hal itu," lanjutnya Selasa lalu, tanpa menyampaikan isi pembicaraan yang dimaksud.
Kini, dalam sebuah klarifikasi terbaru pada 18 Oktober terhadap pemberitaan Channel 7 yang mencuat ke permukaan --dan kemudian ramai dikutip oleh berbagai outlet media di Australia dan Indonesia-- pihak Kemlu RI mengatakan,
"Saya tidak bisa mengonfirmasi kebenaran pesan singkat tersebut, sebagaimana yang diberitakan oleh Channel 7," kata Arrmanatha di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
"Pertama karena komunikasi kedua menteri itu merupakan privasi keduanya. Saya, selaku juru bicara, tidak di-share sehingga saya tidak tahu isinya apa."
"Pemberitaan (Channel 7) itu pun mengasumsikan bahwa itu merupakan isi pesan antara kedua menteri. Kembali lagi, saya tidak tahu isi pesan yang sebenarnya."
Lantas, ketika ditanya siapa yang membocorkan pesan tersebut --sebagaimana Channel 7 melabelnya-- Arrmanatha mengatakan, "Saya tidak tahu siapa yang membocorkan. Mungin harus ditanyakan kepada outlet media yang merilis berita itu."
Menambahkan, Arrmanatha mengatakan bahwa Menlu Retno "melakukan komunikasi terbuka dengan banyak menteri luar negeri termasuk Menlu Australia. Apalagi, kalau ada isu mendesak dan khsusus yang perlu dikomunikasikan," seperti isu Yerusalem.
"Komunikasi terbuka seperti ini juga terlaksana karena ada rasa saling percaya antara kedua menlu. Ini prinsip yang selalu dipegang Menlu RI dalam menjalankan hubungan bilateral."
Simak video pilihan berikut ini:
Ini yang Akan Dilakukan RI untuk Merespons Australia
Pada kesempatan yang sama, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan menyesuaikan kebijakan luar negerinya terhadap Australia, menyusul niat Negeri Kanguru, pada 16 Oktober 2018, untuk memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Isu yang berkaitan dengan Palestina merupakan hal penting bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, serta merupakan mandat konstitusi kita," kata Arrmanatha dalam konferensi pers Kamis 18 Oktober 2018, saat mengawali jawabannya ketika ditanya apakah rencana tersebut akan memicu perubahan sikap Indonesia dalam hubungan bilateralnya dengan Australia.
Melanjutkan, Arrmanatha mengatakan, "Tentu kita akan menyesuaikan kebijakan atau tindakan kita, tergantung pada situasi yang ada."
Tapi, Arrmanatha menambahkan, "Namun, saya tidak bisa meramal atau juga memutuskan langkah apa yang akan kita ambil jika hal itu terjadi pada waktu dekat."
Meski begitu, Arrmanatha menegaskan, bukan berarti sikap itu diinterpretasikan bahwa hubungan bilateral Indonesia-Australia 'menjadi nomor dua' dalam kebijakan luar negeri RI. "Saya tidak bilang begitu ya," jelasnya.
"Yang saya katakan adalah, isu Palestina sangat penting. Hubungan bilateral Indonesia-Australia dan bilateral Indonesia dengan para negara tetangga, juga sangat penting."
"Kami mengambil langkah (terkait kebijakan luar negeri) selaras dengan prioritas Indonesia. Hubungan bilateral Indonesia-Australia adalah salah satu prioritas. Tentu saja kita akan mengambil langkah dan kebijakan sesuai dengan prioritas itu."
"Isu Palestina juga salah satu prioritas, dan kita juga akan mengambil langkah serta kebijakan sesuai dengan prioritas itu," jelas Arrmanatha.
Komentar itu datang setelah Perdana Menteri Australia Scott Morrison, pada 16 Oktober 2018, mempertimbangkan opsi untuk memindahkan kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Rencana itu dinilai bermuatan politis domestik, karena, diumumkan menjelang pemilihan anggota House of Representative Australia (setara DPR) yang akan diselenggarakan pada 20 Oktober 2018. Tujuannya, demi mendulang suara calon pemilih Yahudi kepada kandidat dari partai yang sama dengan Morrison, Partai Liberal Australia.
Palestina dan sejumlah negara pendukungnya, termasuk Indonesia, mengkhawatirkan keras rencana tersebut.
Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki, pada 16 Oktober, mengatakan bahwa niat Australia --jika terlaksana-- merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan berbagai Resolusi Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB.
Maliki juga mengatakan, "Niat Australia berisiko mengganggu hubungan bisnisnya dengan seluruh dunia, terutama, negara Arab dan negara mayoritas muslim."
Advertisement