Protes Antikorupsi Berujung Rusuh di Haiti, 2 Orang Tewas

Sebuah aksi protes yang digelar di Haiti berujung kerusuhan, mengakibatkan dua orang tewa dan puluhan lainnya terluka.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 19 Okt 2018, 12:02 WIB
Aksi protes berujung kerusuhan terjadi di Haiti, Kamis 18 Oktober 2018 (AP/Dieu Nalio Chery)

Liputan6.com, Port-au-Prince - Sebuah kampanye anti-korupsi yang digalang dari media sosial tampil sebagai aksi protes di jalanan ibu kota Haiti, Port-au-Prince, pada Kamis 18 Oktober 2018 waktu setempat.

Puluhan ribu orang turut serta dalam unjuk rasa menuntut penyelidikan dugaan korupsi senilai hampir US$ 2 miliar (setara Rp 30 triliun, dengan kurs Rp 15.190 per 1 dolar AS), yang dicuri dari dana program pengadaan minyak Bumi dari Venezuela.

Dikutip dari Miami Herald pada Jumat (19/10/2018), dana tersebut seharusnya digunakan untuk membangun kembali Haiti setelah gempa dahyat pada 2010, yang menghancurkan banyak wilayah negara miskin di Kepulauan Karibia itu.

Juru bicara Kepolisian Nasional Haiti, Michel-Ange Louis-Jeune, mengatakan sedikitnya dua orang tewas selama aksi protes yang penuh ketegangan itu. Ia juga menyebut beberapa lainnya terluka oleh tembakan-tembakan, termasuk lima orang di Cap-Haitien, kota terbesar kedua negara itu.

Kerusuhan disebut bermula pada Kamis pagi di dekat kompleks pemakaman negara Pont-Rouge, di distrik Cité Soleil. Seorang perwira polisi Port-au-Prince dilaporkan terluka oleh lemparan batu ketika berusaha menghentikan serbuan massa, yang hendak menghadang kedatangan Presiden Jovenel Moïse dan beberapa pejabat pemerintahannya.

Polisi sempat menembakkan tembakan udara, yang membuat sebagian massa tiarap untuk berlindung. Namun, beberapa lainnya mendadak bersikap anarkis, melemparkab batu dan benda padat lainnya ke arah pihak keamanan.

Presiden Moïse dikabarkan telah dikawal pergi dari lokasi kerusuhan, meninggalkan prosesi peletakan karangan bunga yang belum selesai dilakukan. Ini merupakan kegiatan rutin tahunan untuk,memperingati meninggalnya bapak bangsa Haiti, Jean Jacques Dessalines, yang dibunuh di Pont-Rouge pada 17 Oktober 1806.

Melihat serbuan massa yang semakin tidak terkendali, Presiden Moïse diterbangkan dengan helikopter ke Marchand Dessalines, kota yang didirikan Dessaline dan menjadi ibukota strategis pertama Haiti setelah kemerdekaan.

Di Port-au-Prince, Louis-Jeune mengatakan para pengunjuk rasa merusak beberapa bangunan dan kendaraan, melemparkan batu ke kedutaan Swiss, meledakkan sebuah mobil dan, di Morne Lazard, berusaha membakar sebuah SPBU.

Setidaknya 11 kendaraan polisi rusak atau dibakar, sementara 11 petugas terluka akibat lemparan batu. Di Gonaives, di mana Senator Youri Latortue memimpin salah satu protes anti-korupsi, Louis-Jeune mengatakan "banyak batu" dilemparkan dan membakar barikade ban yang didirikan di depan sekolah hukum.

Secara keseluruhan. setidaknya delapan penangkapan dilakukan, tambahnya.

 

Simak video pilihan berikut:

 


Pernyataan Presiden Haiti

Gempa Haiti 2010 (Marco Dormino/ The United Nations United Nations Development Programme)

Sementara itu, Presiden Moïse sempat berbicara di tingkat nasional pada bulan Maret lalu, mengharapkan segera berakhirnya perpecahan, dan meminta pengertian rakyat Haiti tentang masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan selama 20 bulan memerintah.

Moïse menambahkan bahwa dia memahami frustrasi dan ketidaksabaran yang dirasakan rakyat Haiti, tetapi kemajuan tidak dapat dicapai melalui anarki.

"Saya memperbarui keterlibatan saya untuk bekerja dengan semua orang, di setiap sekto, untuk mengubah cara negara kita (bergerak maju) saat ini," katanya.

Meskipun pengunjuk rasa kerap merujuk dana senilai US$ 3,1 miliar (setara Rp 47 triliun) dari skema PetroCaribe --nama resmi pengadaan BBM-- untuk dibayarkan ke Venezuela, namun jumlah sebenarnya yang dibayarkan diketahui tidak lebih dari US$ 1,8 miliar, atau setara Rp 27.3 triliun.

Menurut beberapa laporan investigasi gabungan, jumlah dana yang dikorupsi itu terakumulasi selama delapan tahun terakhir, setelah Venezuela menyetujui pengurangan beban utang senilai US$ 300 juta (setara Rp 4,5 triliun), menyusul kehancuran akibat gempa magnitudo 7 yang menghantam negara itu pada 2010.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya